Sepekan Menuju Lebaran: Kue, Baju Baru dan Mudik

Makassar, PANRITA.News – Tanda-tanda idul fitri menjelang paling tidak diramaikan dengan tiga hal. Pertama, mulai membuat kue. Ada kue-kue tertentu yang menjadi tanda idul fitri. Seperti indo beppa (kue bolu) yang disiapkan sehari sebelum datangnya lebaran. Selain hadir di acara pernikahan, juga menjadi tanda yang “wajib” eksis di hari lebaran.

Begitu pula kue kering seperti nastar, dan kacang telur. Semuanya disiapkan di tengah-tengah tarawih, tadarus, dan iktikaf. Begitu juga di tengah persiapan idul fitri tetap dengan memperhatikan pembayaran zakat fitrah. Membuat kue dengan melibatkan seluruh anggota keluarga sesuai dengan kemampuan masing-masing. Ada yang sekedar tukang angkat bahan-bahan kue, atau juga disuruh untuk merapikan pernak-pernik semasa buat kue. Ada pula yang semata-mata hanya turut menjadi pengamat, dan saat berbuka menjadi tukang icip-icip.

Bagi keluarga tertentu, tradisi ini akan berganti dengan cukup membeli kue sesuai selera. Maka, produsen kue genjar memasarkan kue yang dijual. Termasuk menggunakan media sosial (Arhas, Niswaty, Cahyono, & Rahman, 2022).
Sekalipun berasal dari kata bahasa Jawa, lebaran digunakan sebagai bahasa Indonesia. Dalam bahasa Jawa berarti lapang. Maka, saat idul fitri menjadi kesempatan kita melapangkan hati. Menerima maaf atas salah dan khilaf dari sesama. Sehingga dalam idul fitri itulah dianggap sebagai momen terlahir kembali.

Bulan Ramadan yang merupakan bulan kesembilan dalam penanggalan hijriyah dijadikan sebagai masa-masa untuk terlahir kembali. Maka, selain disyukuri dengan makan-makan. Tanda kedua adalah berbaju baru. Lagi-lagi, sebagai tanda kelahiran. Maka dengan berbaju baru, sebagai ekspresi bahwa ini menjadi momen di hari kelahiran.

Untuk urusan baju baru ini, pasar, mall, dan tempat perbelanjaan mulai ramai. Kesempatan untuk tarawih mulai berkurang. Hanya saja, membeli baju baru tak lagi hanya di tempat-tempat itu saja. Belanja daring, di lokapasar yang semakin mudah diakses. Ada Tiktok, Shopee, Lazada, dan mereka lokapasar lainnya sesuai dengan kegemaran masing-masing.

Satu lagi, mudik. Saat covid-19, sekalipun terlarang, ada saja cara diantara pemudik untuk melaksanakan hajatnya. Ada yang bersembunyi di tempat bagasi. Ada juga yang kedapatan oleh aparat ditutupi terpal dalam truk yang seolah-olah membawa muatan barang. Padahal, mudik justru menjadi sebuah perayaan tersendiri yang justru sebuah kekagetan ketika terlarang (Zainuddin, 2021).

Terakhir, kembali ke kampung masing-masing. Mudik ini menjadi hajatan nasional. Dimana sekali setahun, ada pergerakan orang dan barang dalam kuantitas jutaan. Orang Minang menyebutnya “Pulang Basamo”. Dengan bercanda disampaikan bahwa mudik atau pulang basamo ini merupakan kewajiban. Kalaulah tidak dilaksanakan, maka terancam dihapus dari daftar anggota keluarga.

Saat idul fitri adalah momen yang dinanti untuk pulang. Para pekerja di ibukota sejak awal Ramadan sudah mempersiapkan diri. Bahkan mereka sudah mencari tiket dengan pelbagai pilihan. Tiket kereta api, bis, dan juga pesawat.

Perjuangan bekerja selama setahun, ditabung untuk dapat bertemu dengan keluarga pada kesempatan hari lebaran. Bagi yang mampu dan mempunyai tabungan berlebuh, mereka juga membagikan “angpao” bagi sanak keluarga ataupun membawa bingkisan ke kampung masing-masing. Ada penggunaan kata ini, sekalipun itu sebenarnya hanya digunakan dalam tahun baru China (Tazkiyah, 2022).

Begitu pula bagi pekerja di ibukota provinsi. Seperti di Makassar, ibukota Sulawesi Selatan. Bersiap untuk pulang ke daerah masing-masing. Lagi-lagi, dengan bercanda bahwa sang anak hanya membawa kue kering yang dilambangkan dengan biskuit Kong Ghuan, saat kembali ke Makassar nantinya justru akan membawa beras, dan hasil pertanian lainnya sebagai pertukaran bawaan yang digotongnya ke kampung. Mudik menjadi praktik bagi kaum urban dimana mereka telah berpindah dari kampung ke kota (Yulianto, 2011).

Selain soal kelapangan, maka idul fitri juga terkait dengan kembali ke tempat asal. Bagi mereka yang tidak lagi memiliki kampung, memilih merayakan idul fitri dengan liburan. Termasuk kepulangan ART, maka mereka akan tinggal selama sepekan di hotel. Kita menemukan kosakata untuk ini semasa covid-19 yaitu staycation.

Berbanding harus mengurus keperluan rumah yang tidak didampingi asisten rumah tangga, maka orang berpunya memilih untuk berdiam di hotel dengan seperangkat fasilitas yang sudha siap diakses hanya cukup dengan jumlah tertentu saja. Maka, idul fitri juga berarti adalah liburan sekalipun bagi yang bukan berstatus muslim.

*Ismail Suardi Wekke, Wakil Ketua Umum MPP Pemuda ICMI.

Tinggalkan Komentar