Ramadan di Indonesia: Ekspresi Beragama, Harmoni, dan Ragam Budaya

Makassar, PANRITA.News – Ramadan telah berlalu. Sebelum kita melangkah semakin jauh dari bulan suci, mari sejenak berhenti dan kembali menengok betapa sebuah kesyukuran merayakan bulan Alquran di wilayah tropis. Tidak hanya soal cuaca, tetapi juga aktu berpuasa yang kurang lebih sama dari tahun ke tahun. Berbanding dengan puasa di wilayah empat musim. Setiap pergantian musim, siang dan malam memiliki perbedaan yang signifikan.

Pertama, limpahan hidangan makanan dari anugerah alam. Dengan wilayah tropis di nusantara, memberikan tumbuhan yang menghasilkan buah dengan pelbagai ukuran. Dari besar sampai kecil. Jikalau melihat wilayah lain, seperti Timur Tengah, adanya kurma di setiap wilayah. Sementara Indonesia, bukan hanya kelapa. Tetapi jenis buah-buahan lain yang bahkan berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.

Selanjutnya, ibadah dilaksanakan dalam setiap waktu yang tersedia. Ketika Ramadan datang menyapa, maka awalnya adalah tarwih. Kemudian diteruskan dengan sahur, begitu pula tetap adanya salat lima waktu. Sepanjang siang dan malam, dihiasi dengan tadarus. Kemudian begitu matahari terbenam, buka puasa.

Seorang muslim, ada saja yang terlambat salat jamaah ataupun tarwih. Tetapi soal bukan puasa tetap tepat waktu adanya. Sementara itu, sebagaimana muslim di Asia Tenggara, dipraktikkan imsak. Ini merupakan bentuk kehati-hatian. Sehingga berpuluh menit sebelum datangnya subuh, sudah selesai makan dan minum. Tidak lagi makan minum serta menjauhi hal-hal yang membatalkan puasa. Itulah sehingga saat makan di magrib, dinamakan berbuka puasa. Sebab sepanjang hari telah menutup diri dari aktivitas yang terlarang.

Andre Moller (2005) secara khusus meneliti tentang Ramadan di Jawa. Dalam disertasi Moller digambarkan bagaimana masyarakat muslim di Jawa dengan subyek penelitian di Yogyakarta dan Blora. Di kedua kota tersebut, dan juga di seluruh Indonesia, Ramadan dirayakan dengan suka cita. Dipenuhi dengan perjuangan untuk menambah ilmu dan juga mempraktikkannya sedaya upaya terbaik dari setiap muslim.

Begitu pula dengan Papua, Manado, dan Bali. Sekalipun masyarakat muslim di ketiga wilayah tersebut dengan jumlah minoritas, tetap saja Ramadan berjalan dengan semarak. Bahkan menjadi kesempatan saling belajar. Buka puasa bersama tetap digelar dengan kehadiran non-muslim. Bahkan mereka ikut makan malam, dan juga memberikan apresiasi terhadap pelaksanaan ibadah puasa.

Hari demi hari berjalan. Begitu sampai pada malam ketujuh belas, dirayakan dengan sederhana. Malam nuzulul quran disertai dengan kudapan usai tarawih. Di kota atau wilayah tertentu dilaksanakan Musabaqah Tilawatil Quran. Tidak saja oleh pemerintah, tetapi juga dilaksanakan oleh media-media, bahkan oleh remaja masjid.

Sekali lagi, semangat menuntut ilmu menjadi spirit dalam menjalani Ramadan. Sehingga setiap saat, ada kelanjutan usai salat berjamaah. Baik ceramah, kultum (kuliah tujuh menit), pasanan, ataupun pengajian Ramadan menjadi peluang untuk menyegarkan kembali pemahaman keagamaan.

Kemudian 10 malam terakhir, dirayakan dengan iktikaf. Tidak lagi dengan hanya tarwih saja, tetapi juga dengan qiyamul lail. Bahkan di masjid tertentu, setiap pelaksanaan qiyamul lail dengan menuntaskan bacaan 1 juz setiap malam.

Layanan bagi jamaah disiapkan secara khusus. Di 10 malam tersebut, disiapkan jamuan sahur. Sehingga jamaah akan tetap berada di masjid hingga pagi. Setelah pelaksanaan jamaah subuh, diteruskan dengan aktivitas ceramah, dan kemudian diakhiri dengan salat dhuha.

Sampai pada akhir Ramadan, menunaikan zakat. Baik untuk fitrah maupun maal. Keduanya menjadi pelengkap kegembiraan untuk senantiasa berbagi. Maka, kesemarakan Ramadan yang kedua selain menuntut ilmu, adalah kemauan untuk berbagi.

Secara bersama-sama, jamaah masjid menyediakan buka puasa. Kemudian, ada pula yang melaksanakan sahur on the road. Memberikan layanan makan sahur bagi masyarakat yang berada di jalan dengan pelbagai keperluan ataupun sementara dalam perjalanan.

Akhirnya, begitu terbit hilal sebagai tanda Syawal, menjadi akhir dari Ramadan. Paling tidak, ada tiga tanda yaitu baju baru, mudik, dan ketupat. Ini menjadi bagian dalam mempererat silaturahmi. Setiap orang memohon maaf, dan pada saat yang sama memberi maaf. Kita menyebutnya lebaran. Kemauan dan kemampuan untuk melebarkan diri dalam menghilangkan semua prasangka dan tidak lagi menyimpan apapun kecuali kebaikan.

Di situlah Indonesia. Ramadan dirayakan dengan harmoni, sekalipun dengan budaya yang berbeda. Keberadaan budaya, tak lain hanyalah sebagai “tanda” persentuhan dengan lingkungan semata. Tetapi yang mengemuka justru keinginan untuk selalu taat, pada saat yang sama dinyatakan melalui kepedulian sosial.

Ketika Ramadan berlalu, maka berharap kesempatan untuk menjumpainya pada setahun yang akan datang. Sehingga kesalahan dan kekhilafan selama sebelas bulan lainnya, dapat dikoreksi dan dimohonkan ampun untuk kemudian meneruskan perjalanan yang lebih baik dari tahun ke tahun.

*Ismail Suardi Wekke, Wakil Ketua Umum MPP Pemuda ICMI.

Tinggalkan Komentar