Makassar, PANRITA.News – Begitu mentari tenggelam, maka pergantian penamaan bulan wujud. Kita tidak bersua lagi dengan Ramadan. Meninggalkan kita dalam hitungan entah kegembiraan atau justru penyelesalan.
Takbir berkumandang menyambut datangnya bulan baru, Syawal. Kita bertemu dengan bulan kesyukuran dimana menahan hawa nafsu dalam siang hari selama sebulan telah dilalui. Setelah ini, diteruskan dengan tetap berusaha mengekang hawa nafsu, sehingga lebih mudah menjumpai Allah Yang Maha Kuasa.
Sebelum itu, dinihari saat rombongan patrol berkeliling. Salah satu lagu yang dinyanyikan adalah sayonara. Sampai bertemu kembali, ini adalah sahur terakhir untuk tahun ini. Tidak akan pernah kembali lagi. Aktu terus bergerak menyusuri jalannya sendiri.
Perjalanan Ramadan 1445 H/2024 M, dibarengi dengan rekap suara nasional pemilihan umum. Setelah itu, diteruskan dengan sidang di Mahkamah Konstitusi RI. Sela-sela aktivitas menyambut Ramadan diselingi dengan mengikuti hiruk-pikuk keduanya.
Sehingga, Mahkamah Konstitusi hanya berkesempatan libur selama dua hari saja. Sementara warga lain, bahkan ada yang libur sampai tujuh hari dengan adanya hari cuti bersama.
Kita mencatat pula perjalanan Ramadan kali ini, mudik kembali terlaksana. Semacam “hajatan nasional” sehingga dua hal pesan yang diunggah berkali-kali di platform media sosial yaitu “merantaulah, supaya mengenali mahalnya harga tiket pulang.”. Begitu pula, bagi orang Sulawesi Selatan (Sulsel) dalam kalimat “sejauh-jauh merantau, mendekati idulfitri tetaplah pulang mengikat buras.”
Akhir Ramadan menjadi momen untuk pulang. Hanya saja, saat pulang tiket dijual dengan harga dengan tidak ada promo sama sekali. Sehingga menjadi lebih mahal berbanding hari-hari di luar musim mudik.
Sementara itu bagi orang Sulsel, hidangan istimewa yang dinanti masa idulfitri adalah burasa. Penanganan tetap dari beras dengan santan dan dimasak untuk masa tertentu sehingga menyerupai (walau tidak sama persis) dengan lontong.
Salah satu tahapan sebelum siap untuk masa perlu diikat terlebih dahulu. Tugas anaklah untuk mengikat buras ini. Sekaligus menjadi tugas sepanjang statusnya sebagai anak. Untuk itu pulang juga bermakna bahwa menjadi “panggilan” untuk datang mengikat buras.
Adapun di Gorontalo, tiga hari sebelum berakhir Ramadan dilaksanakan tumbilotohe. Menyalakan lampu minyak sepanjang jalan dari rumah ke masjid. Tidak saja sebagai penerangan, tetapi juga permohonan semoga sinar Ramadan tetap memancar dalam malam-malam terakhir.
Lampu dinyalakan sejak usai berbuka sampai subuh. Juga diringi dengan festival beduk. Bagi kampong-kampung tertentu, ditambah dengan meriam bambu. Semuanya menjadikan kemeriahakan di penghujung Ramadan.
Sebagaimana di awal Ramadan, kesyukuran ditandai dengan salah satunya massuro baca (baca doa selamat) dengan mengundang guru mengaji atau imam kampung. Makan bersama, tidak akan dimulai sebelum sang imam datang membaca.
Sepanjang malam, takbir bertalu-talu dengan beduk. Walau kini, masjid atau musallah yang menyediakan beduk semakin tidak terlihat dengan mudah. Seraya mendekatkan diri dengan lantunan takbir, tasbih, dan tahmid. Syukur yang diekspresikan dengan bentuk makan dan zikir.
Takbir akbar dilangsungkan di kota dan pelosok tanah air. Diiringi dengan suara mercon, dan bau mesiu. Iringan kendaraan hias dimana kota tertentu menghias kendaraan yang diperlombakan.
Semuanya menjadi satu, dan kini kita telah melalui Ramadan tanpa hambatan berarti. Baju-baju baru mulai disapkan untuk pelaksanaan salat idulfitri untuk keesokan harinya. Menandai hari pertama bulan Syawal.
Masyarakat Solo, secara khusus melaksanakan Grebeb Syawal. Dua gunungan yang diarak dari kraton Solo. Gunung Jaler dan Estri, menjadi lambing keberagamaan dan keberagaman. Dilaksanakan sebagai bentuk doa untuk keselamatan dan keberkahan.
Berakhirnya Ramadan dan kesempatan untuk menunaikan ibadah yang dikandungnya adalah bentuk kesyukuran.
Tradisi demi tradisi melingkupi sejak datangnya Ramadan sampai melepasnya seiring dengan tibanya Syawal. Termasuk dalam melangkah ke tempat salat sekalipun, dijalani dengan peringatan terhadap lelaku leluhur (Amanan, 2019a).
Takbir dilangitkan sebagai tanda semangat atas anugerah Ilahi untuk bersua dengan Ramadan (Amanan, 2019b). takbir keliling sebagai ikhtiar memastikan bahwa semuanya tetap bersama dalam sukacita idulfitri (Lusiana, 2021).
Hari ini, hari yang dinanti. Perjalanan belajar dan mengasah ruhaniah sepanjang Ramadan untuk sementara selesai. Sampai nanti putaran waktu dalam hitungan dua belas bulan yang akan mempertemukan dengan Ramadan kembali. Sayonara Ramadan.
*Ismail Suardi Wekke, Wakil Ketua Umum MPP Pemuda ICMI.
Tinggalkan Komentar