Makassar, PANRITA.News – Bulan yang dinanti, kini datang menyapa. Betapa bersyukur dengan suasana yang aman dan nyaman di seluruh pelosok Indonesia. Bulan yang disambut dengan makan, dan berkumpul dengan keluarga. Senyampang bertemu dan saling menyapa, asupan makanan tidak berhenti.
Sementara saudara kita di Gaza, berjibaku dengan ancaman kematian setiap saat. Bahkan ketika mengantri untuk sekadar makan, tetap saja serangan Israel tidak berhenti. Suasana yang tidak sama persis dialami golongan keluarga muslim di Ukraina. Sehari-hari mereka juga berjibaku dengan perang bersama Rusia. Perang yang tidak pernah membawa apa-apa kecuali penderitaan dan nestapa. Begitupun juga bagi yang memenangkan peperangan. Tetap saja kerusakan tetap saja melanda.
Sekalipun suasana kadang juga “panas” di tengah rekap suara pemilu yang baru saja dirampungkan KPU di tingkat provinsi, tetap saja patut disyukuri. Suasana itu, bagian dari dinamika kebangsaan yang senantiasa berada dalam koridor demokrasi.
Pemilu yang dilaksanakan dengan pemilih ratusan juta orang. Belum lagi TPS yang tersebar dengan topografi yang terbentang luas. Ada pulau, gunung, dan juga daerah pedalaman. Maka, mendapatkan kesempurnaan tentulah mustahil. Hanya saja, dengan pelaksanaan yang lancer dan tidak ada gangguan berarti, menjadi sebuah keberhasilan perhelatan demokrasi yang lagi-lagi perlu disyukuri.
Tetapi bukan tentang itu saja. Ramadan kini telah tiba. Semua bersuka cita menyambutnya. Sepanjang tiga tahun dari 2020 sampai 2023 lalu, Ramadan serba terbatas. Bahkan aktivitas bunyi petasan, dan juga pukulan beduk tidak lagi bertalu-talu. Kini, perayaan di bulan suci kembali menggema. Wabah telah teratasi, dan semuanya kembali hidup bukan dengan selimut kecemasan dan kegetiran.
Jikalau kita menengok kembali masa-masa pandemi itu, betapa ketidakberdayaan kita. Sehingga semuanya dilaksanakan di rumah masing-masing saja. Mulai dari berbuka puasa, kemudian tarawih. Begitu pula dengan membayar zakat sepenuhnya dilaksanakan daring. Begitu saat idul fitri, ditunaikan juga secara terbatas. Hanya bersama dengan keluarga inti saja.
2024 ini, semuanya tidak begitu lagi. Sejak matahari tenggelam menjadi tanda datangnya maghrib mengakhiri sya’ban, maka lantunan adzan bersahut-sahutan. Sekalipun permulaan Ramadan diawali di hari yang berbeda. Namun, itu bukan menjadi kendala dan rintangan.
Tetap saja, seentaro Indonesia menyabutnya dengan kegembiraan. Dirayakan bersama, di Aceh disebut dengan meugah. Makan daging menyambut Ramadan. Sementara di tanah Minang, disiapkan hidangan lemang.
Begitu pula di Riau, digelar perhelatan Pacu Jalur. Sebuah perlombaan kekeluargaan dengan lingkungan yang dikelilingi sungai sehingga merayakannyapun sesuai dengan kondisi alam.
Di pulau Dewata, umat Islam yang minoritas tetap saja juga menyongsong Ramadan. Masyarakat muslim Karangasem melaksanakannya dengan perhelatan megibung.
Kesemuanya menunjukkan kebersamaan. Menyantap hidangan tidak saja di keluarga inti, tetapi bersua dengan masyarakat sekitar dan di lingkungan yang lebih luas. Memaknai hari besar bagi masyarakat Indonesia sejatinya dirayakan dengan makan dan berkumpul.
Sebagai bulan yang bukan saja soal suci, tetapi juga menjadi perayaan tersendiri. Masyarakat muslim Mandar di Sulawesi Barat menyambut kedatangan Ramadan dengan menyalakan pelita dan penerangan lainnya.
Kalau kini, lampu-lampu disiapkan secara khusus. Tradisi ini disebut dengan mattunu solong. Ini untuk menjadi tanda penerang dan juga menyalakan harapan untuk menghidupkan suasana sepanjang Ramadan dengan ibadah berjamaah.
Termasuk pula belajar bersama yang dalam lingkungan tertentu menyebutnya pesantren Ramadan. Bahkan secara khusus diprogramkan dinas pendidikan. Ini juga memberi kesempatan untuk kembali belajar agama. Mengulangi apa yang telah dipelajari sebelumnya. Untuk menyebut ini, digunakan kata tadarus yang berarti mengulangi berkali-kali.
Sehingga sekalipun Ramadan dari tahun ke tahun kita dapati, tetapi saja dengan kegembiraan yang memuncak begitu mendapatinya kembali. Disyukuri , dan dirayakan bersama. Sekaligus sebuah kesempatan untuk berhenti sejenak untuk belajar. Kemudian meneruskan perjalanan kehidupan nantinya usai idul fitri yang menjadi tanda kelahiran kembali.
Ismail Suardi Wekke, Wakil Ketua Umum MPP Pemuda ICMI.
Tinggalkan Komentar