Makassar, PANRITA.News – Suasana Ramadan kali ini, bukan saja diwarnai dengan pelbagai ritual yang sudah mentradisi. Bahkan di saat berpuasa, diantara komisioner KPU, Bawaslu, saksi partai, dan yang hadir dalam rekap perhitungan suara yang memasuki tahapan provinsi, dan nasional, tetap saja berpuasa. Inilah yang menjadi warna tersendiri bagi para penyelenggara, dan pengurus partai politik, ataupun caleg yang berkontestasi dalam pemilu 2024.
Penetapan pencoblosan di bulan februari 2024 membawa tahapan pemilu berikutnya kepada perhitungan. Termasuk dalam masa-masa Ramadan. Justru ini menjadi sebuah peluang emas dimana dengan tetap berpuasa maka ujaran kebencian ataupun fitnah tidak akan wujud. Sementara bagi penyelenggara, mereka akan semakin menjaga diri. Sebab tidak hanya berpegang pada kode etik, tetapi juga menjaga puasanya sehingga tetap berpahala dan sah.
Ketika berpuasa, maka aka nada dorongan untuk tetap jujur dalam menghitung. Tidak akan memungkinkan untuk memindahkan suara orang tertentu ke kolom yang tidak seharusnya. Sementara itu, dengan kondisi menahan lapar dan haus, serta menjaga agar pahal puasa tetap utuh, maka tingkah laku baik yang sudah dipraktikkan di luar bulan puasa akan tetap terjaga senantiasa.
Ini sebuah potret tersendiri. Sejatinya, puasa dan politik menjadi sebuah koin emas yang saling melengkapi. Ketika hasrat berkuasa tetap ada dan itu merupakan manusiawi, maka dapat direm melalui puasa. Dalam konteks yang lain, seperti seorang pemuda jomblo. Sebagaimana pesan baginda nabi bahwa bagi seorang pemuda yang belum dapat menikah, maka puasa menjadi jalan keluar sementara sampai mampu ia menikah.
Begitu juga yang dapat wujud dalam politik. Dimana lagu jingle pasangan capres-cawapres yang dengan kata “ayo gas, torang gas”, maka selain soal gas, maka diperlukan rem. Dengan demikian, puasa dapat menjadi sebuah rem dalam mengekang hawa nafsu berkuasa serampangan.
Bagi yang ditetapkan KPU sebagai pemenang kursi DPR di pelbagai tingkatan, diampaikan selamat. Maka momentum puasa ini akan menjadi pengingat bahwa saatnya dilantik nanti, kekuasaan di legislatif merupakan simulacra. “Semakin banyak yang menerima manfaat dari jabatan seseorang” itulah yang menjadi tujuan menduduki jabatan tertentu. Ketika jabatan sebagai tujuan, maka dengan sendirinya hanyalah individual yang menikmatinya belaka.
Kedua, dalam jabatan perlu membendakan antara individual, dan juga kekuasaan. Dimana dalam sejarah Islam kita dipaparkan bagaimana seorang khalifah Umar bin Abdul Aziz yang memadamkan lampu di istana dimana itu diongkosi dengan minyak dari rakyat. Sementara obrolan yang berlangsung adalah antara seorang anak dan bapak. Ketika itu, khalifah meminta asisten rumah tangga untuk menyiapkan lampu yang menggunakan minyak dengan pembelian pribadi. Bahkan, awal percakapan berada dalam kegelapan.
Potret ini memberikan pesan kepada kita bahwa dalam kaitan dengan kekuasaan, maka perlu kemahiran untuk berpuasa. Tidak menggunakan barang atau menguasai barang tertentu yang bukan digunakan untuk kepentingan publik. Begitupun kemampuan untuk tidak semena-mena, dan tetap menahan diri dengan hanya bertindak sesuai dengan panduan agama.
Terakhir, bahwa puasa juga ada akhirnya. Tidak sepanjang siang dan malam. Terbatasi oleh terbitnya fajar sampai terbenamnya sang surya. Ini dapat diartikan bahwa kekuasaan itu juga ada waktunya. Tidak akan selama-lamanya. Dalam kesempatan tertentu, aka nada orang lain yang akan menggantikan.
Lima tahun yang akan datang, pemilu digelar lagi. Maka saat itu pulalah akan ada pemungutan suara dan tentunya kesempatan bagi rakyat untuk kembali memilih pemimpinnya. Sehingga, waktu yang diberikan antara pelantikan sampai akhir masa jabatan merupakan masa-masa terbaik untuk senantiasa mengabdikan waktu, pikiran, dan tenaga untuk kemaslahan umat manusia. Bukan untuk pemilihnya saja, tetapi juga untuk semua manusia.
Ismail Suardi Wekke, Wakil Ketua Umum MPP Pemuda ICMI.
Tinggalkan Komentar