Jakarta, PANRITA.News – mengakhiri 10 hari pertama Maret, jajaran pengurus pusat Pemuda ICMI mengadakan pertemuan di ICMI Centre, Jakarta. Menyambut Ramadan 1445 H/2024 M, ada serangkaian kegiatan yang akan dilaksanakan sepanjang bulan suci, Ahad (10/03/2024).
Sebagai badan otonom ICMI, Pemuda ICMI bertugas melaksanakan Ramadan Leadership Camp. Itu salah satu pembahasan. Kemudian usai rapat, diteruskan dengan berjamaah maghrib. Setelahnya, berpindah ke warung makan.
Di masa-masa menanti hidangan makan makan itu beberapa percakapan diantaranya terkait dengan adanya permulaan Ramadan. Bagi yang mengikuti pandangan siding isbat, maka Ramadan akan bermula hari selasa, 12 Maret 2024. Sementara mengikuti keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ahad malam mulai dilaksanakan tarawih.
Diantara perbincangan itu juga ada yang bertanya “kapan bisa seragam ya?”. Saya kemudian menimpali “tidak akan pernah seragam, sebab ini bukan soal pakaian sekolah”. Antara sidang isbat ataupun hisab, bukan pada perbedaan metode semata. Sejatinya, ada kriteria yang berbeda yaitu wujudul hilal.
Sidang isbatpun tetap ada hisabnya sebab ada angka yang digunakan. Sementara bagi yang menggunakan metode hisab, tetap saja ada rukyatul hilal. Dimana akan bicara terkait dengan ketinggian hilal, dan juga elogasi.
Sampai di situ kemudian pembicaraan terhenti. Masing-masing menyantap hidangan mie godok yang tersedia di atas meja. Kemudian sesekali pandangan tertuju kepada layar televisi dimana menyiarkan pidato Mentri Agama RI terkait hasil siding isbat. Selanjutnya, ada pula sambutan Ketua Komisi VIII DPR RI, Dr. H. Ashabul Kahfi, M.Ag. (Anggota DPR RI, Fraksi Partai Amanat Nasional, Dapil I Sulawesi Selatan).
Begitu makan malam selesai, saya menuturkan kembali bahwa lihatlah betapa Indonesia sejatinya sebuah negara yang khas. Mentri Agama berasal dari NU, dan Ketua Komisi VIII berasal dari Muhammadiyah. Sama-sama keturunan “darah biru” di organisasinya masing-masing. Sehingga dalam kerangka berbangsa dan bernegara, baik Muhammadiyah maupun NU memiliki cita-cita, dan juga kesamaan pandangan.
Untuk urusan ibadah, maka masing-masing memiliki pandangan internal. Sehingga dianut oleh masing-masing warganya. Baik yang sebagai anggota, warga, simpatisan, maupun sebagai “pengikut” dalam skala tertentu.
Inilah Indonesia, dimana urusan keagamaan setiap orang atau dalam skala institusi berupa organisasi yang memungkinkan memiliki pandangan yang berbeda sesuai dengan kriteria, dan keyakinan yang dianutnya. Sementara dalam mempraktikkan keyakinan agama berupa ekspresi keagamaan, kemudian melembaga menjadi tradisi, tetap saja tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masing-masing.
Ismail Fajrie Alatas (2024) menyebutnya sebagai sunnah. Sebuah Sunnah dalam pandangan Alatas bahwa bisa saja berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Kata kelompok ini, dapat digantikan dengan kata lain, semisal masjid. Maka sebuah sunnah, dapat berbeda antara sebuah masjid dengan masjid yang lain.
Begitu pula dengan Ramadan. Sebagai sebuah keyakinan, yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi tradisi, akan memiliki kekhasan kalaulah tidak disebut sebagai sebuah perbedaan. Jikalau mengambil pandangan orang luar, justru disitulah letaknya kekhasan Indonesia (Andre Moller, 2005).
Menyambut Ramadan, sederet kegiatan tertentu dan sekali lagi, dilaksanakan dalam skala tertentu. Ada nyadran, kemudian terdapat pula padusan, dan juga dilangsungkan dugderan. Di Jawa Barat dikenal tradisi munggahan. Kalau orang Bugis menyebut dengan massuro baca. Kesemuanya menjadi sebuah “ritual” menyambut Ramadan dengan suka cita.
Ketika Ramadan disambut dengan senang hati, maka tentu tidaklah menjadi soal apakah mengikuti pandangan ulama Muhammadiyah, NU, atau bahkan bukan keduanya (Wekke, 2022). Sebab ada pula pandangan yang tidak mengikuti kedua kelompok itu, diantaranya An-Nadzir. Komunitas keagamaan di Gowa (Sulawesi Selatan) yang memiliki cara dan kriteria dalam penentuan Ramadan.
Untuk itu, menyambut Ramadan dengan suka cita menjadi rangkaian yang penting berbanding dengan gusar akan perbedaan yang ada. Adapun perbedaan-perbedaan yang ada menjadi sebuah warna kehidupan. Sehingga akan memungkinkan ketika terjadi perbedaan. Selamat menyambut Ramadan, marhaban ya Ramadan…
*Ismail Suardi Wekke, Wakil Ketua Umum MPP Pemuda ICMI.
Tinggalkan Komentar