Memasuki awal Februari 2020, Indonesia riuh dengan pemberitaan mengenai Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) di berbagai media massa. Tidak tanggung-tanggung Presiden Joko Widodo alias Jokowi secara resmi mengumumkan ‘darurat nasional’ Pandemi Covid-19. Meski begitu, pengumuman tersebut dinilai agak lamban oleh sejumlah kalangan.
Sebagai informasi pandemi ini pertama kali muncul di Wuhan – China pada akhir 2019, kemudian menyebar ke berbagai negara yang disinyalir pernah melakukan ‘kontak’ dengan orang-orang yang keluar-masuk dari Wuhan.
Karena sifat dari Pendemi ini begitu cepat menular dan dapat mengakibatkan kematian, maka sejumlah kebijakan pun dicetuskan oleh Pemerintah kita, semisal pemberlakuan physical distancing atau social distancing. Slogan-slogan seperti Work from Home (Kerja dari Rumah), School from Home (Belajar dari Rumah) atau dengan ungkapan yang lebih sederhana ‘di rumah aja’ menjadi konsumsi publik sehari-hari.
Tak ayal lagi Covid-19 menumbuhkan ketakutan, baik ketakutan yang wajar maupun ketakutan yang bersifat neoretic. Tentunya, dampak dari ketakutan tersebut, perubahan dalam segenap sektor kehidupan tidak bisa terelakkan, pada ujungnya kita dipaksa untuk kembali merenungkan hakikat kehidupan kita yang terdalam.
Sektor pendidikan, merupakan satu diantara aspek kehidupan yang mesti kita renungkan sejauh kaitannya dengan wabah yang berbahaya ini. Hal ini setidaknya menjadi penting, karena pendidikan memang salah satu pilar bagi kemajuan dan ketahanan suatu bangsa. “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”, adalah amanat UUD 1945 bagi pendidikan nasional kita untuk dilaksanakan demi tujuan tersebut.
Baru-baru ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2020 pada tanggal 2 Mei mengusung tema ‘Belajar dari Covid-19’. Setidaknya tema tersebut, memberi isyarat bahwa perenungan dimulai dari memperhatikan dampak-dampak yang dirasakan oleh dunia pendidikan kita.
Tantangan Pendidikan
Memperhatikan kondisi pendidikan kita yang sedang diuji oleh Covid-19 ini, maka setidaknya terdapat 2 (dua) segi yang dapat kita lihat, yaitu segi teknis dan segi non-teknis. Pemerintah melalui Kemendikbud telah mengeluarkan kebijakan PJJ (Pendidikan Jarak Jauh) atau ‘pembelajaran daring’ se-Indonesia. Dengan kata lain semua aktifitas pembelajaran harus dilakukan secara online. Salah satu imbas dari kebijakan ini, Ujian Nasional 2020 akhirnya dihapuskan, atas pertimbangan keselamatan peserta didik.
Maka pertimbangan selanjutnya adalah pembiayaan berkaitan dengan sarana pembelajaran haruslah sudah dirumuskan oleh pemerintah kita, mulai dari perihal ketersediaan listrik, kuota internet, akses internet yang baik, gawai (sejenis piranti gadget) dan sarana-sarana pembelajaran lainnya yang memudahkan dalam proses pembelajaran online. Dikutip dari CNBC Indonesia, “tahun ini besaran anggaran pendidikan mencapai Rp. 508,1 triliun, atau 20% dari belanja APBN 2020”. Jumlah sedemikian, diharapkan mampu mengatasi sejumlah masalah pendidikan kita hari ini. Inilah yang saya maksudkan dengan segi teknisnya.
Dari uraian diatas, maka timbul suatu pertanyaan, apakah dengan alokasi pendidikan sebesar itu dalam pelaksanaannya sudah menjawab segenap permasalahan yang ada? Ternyata, jawabannya tidak sesuai dengan ekspektasi kita. Potret pendidikan kita lebih menggambarkan ketimpangan dan tidak meratanya sarana pendidikan. Pernyataan ini akan semakin jelas apabila kita lihat kondisi pendidikan di daerah perkotaan yang dikontraskan dengan kondisi pendidikan di daerah pelosok.
Tanpa hendak menghina, bahwa kondisi pendidikan di daerah pelosok sungguh sangat memilukan. Sebelum masuknya Pandemi Covid-19 ke dalam Negara kita, sarana pendidikan seperti listrik, kuota internet apalagi signal jaringan, pun masih jadi masalah tersendiri, apalagi di tengah kondisi sulit saat ini. Barangkali keadaan serupa bukan menjadi kendala besar bagi peserta didik yang berada di daerah perkotaan. Mudahnya akses informasi dan sarana informasi di perkotaan menjadikan peserta didik tidak terlalu sulit dalam upaya adaptasinya dengan tantangan zaman. Sungguh, dua keadaan pendidikan diatas menggambarkan realitas yang kontras, sekaligus hal demikian mengonfirmasi bahwa pemerataan pendidikan masih jauh dari tujuan.
Keluhan-keluhan yang ada, bukan hanya dari segi sarana saja, lebih jauh lagi, proses pembelajarannya atau aspek non-teknisnya, pun dinilai kurang efektif. Sebenarnya hal ini wajar saja adanya, dengan pertimbangan, selama ini pola pendidikan kita bukanlah pola yang dominan pada aspek penggunaan teknologi berbasis digital. Pola yang umum pada pendidikan kita adalah pola ruangan, atau kita menyebutnya pola tatap muka. Maka wajar saja keluhan itu muncul dipermukaan, tetapi bukan berarti kita akan abai begitu saja. Hal diatas hanya mengungkapkan bahwa pendidikan kita belum siap dengan sistem pembelajaran online. Namun tidak bisa tidak, karena tuntutan kondisi, pola baru ini mesti juga dilalui.
Seperti yang dikemukakan oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, bahwa proses perubahan dari pola tatap muka kepada pola berbasis digital bukan proses satu atau dua hari, dibutuhkan proses yang panjang bahkan bertahun-tahun, hal ini disebabkan karena yang terkait di dalamnya bukan hanya persoalan sarana, tapi lebih substansial lagi adalah persoalan ‘mindset berpikir’ atau paradigma berpikir pendidikan kita yang belum sesuai dengan tuntutan zaman.
Kalau sudah seperti itu, maka pertanyaan yang berkaitan dengan kesiapan kita mengahadapi tantangan Revolusi Industri 4.0 yang serba digitalisasi mesti kita tangguhkan sampai waktu yang tidak ditentukan.
Ibrah di Balik Musibah
“Apa yang tidak bisa kita lakukan seluruhnya, setidaknya kita lakukan sebagiannya saja”, demikian salah satu kaidah yang terdapat dalam yurispudensi Islam, memberi kita pengarahan bahwa dampak negatif dari Pandemi Covid-19 ini jangan sampai membuat kita lalai dari melihat sisi positifnya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa segala sesuatu memiliki aspek positif dan negatif, maka mengahadapi Covid-19, jangan hanya berhenti pada aspek negatif saja. Bahkan diupayakan melihat dari aspek positifnya, karena dengan cara itu-lah peluang bagi hadirnya solusi bagi pendidikan kita menjadi suatu keniscayaan.
Hikmah mewabahnya Covid-19 ini dapat kita lihat dengan pola hubungan antara anak dan orang tua menjadi lebih intens. Istilah ‘di rumah aja’ membuat kita sadar bahwa fasilitator pendidikan bukan hanya sekolah dan guru, orang tua juga merupakan fasilitator penting bagi pendidikan seorang anak. Bahkan dikatakan, orang tua adalah fasilitator pertama dan utama bagi pendidikan seorang anak. Covid-19 juga mengajarkan kita, meskipun dalam kondisi sulit dan terbatas kita tetap harus memperoleh pendidikan, justru tinjauan psikologis menyebutkan bahwa semakin terbatas ruang gerak seseorang maka biasanya pikiran kreatif dan inovatifnya akan muncul.
Ditambah lagi, secara umum hikmah yang kita peroleh dari musibah Pandemi Covid-19, memberikan stimulus bagi pendidikan kita, untuk mempercepat proses penyesuaian diri demi menyongsong tantangan pendidikan di zaman milik ‘generasi Z’ ini. Upaya menuju perbaikan sistem pendidikan terutama yang dituju adalah sistem kurikulum pendidikan kita, yang mesti didukung dan difasilitasi segera.
Sekiranya bukan karena Pandemi Covid-19 ini, upaya-upaya menuju perbaikan yang lebih konkret masih akan menjadi angan-angan belaka. Kita mesti jujur tanpa hendak melebih-lebihkan bahwa Covid-19 telah mengambil andil dalam konsolidasi Pendidikan Indonesia.
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2020!
Tinggalkan Komentar