9 Kejanggalan Kasus Dugaan Kriminalisasi IRT di Sidrap

Sidrap, PANRITA.News – Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Sidrap memutuskan menolak permohonan praperadilan seorang ibu rumah tangga, Hj. Suharti yang diduga menjadi korban kriminalisasi aparat dan ditahan sepihak beberapa waktu lalu di Reskrimsus Polda Sulsel.

Meski hakim telah memutuskan menolak praperadilan tersebut, masih banyak diantara masyarakat terutama kaum perempuan yang mempertanyakan keadilan yang dipertontonkan majelis hakim PN. Itu bukan tak berdasar, sebab diketahui hakim tunggal PN Sidrap yang menjadi pengadil praperadilan tak mempertimbangkan fakta-fakta yang diajukan pemohon Aji Arty (sapaan Hj. Suharti) melalui kuasa hukumnya.

Timbul persepsi masyarakat, semakin menguatkan Aji Arty dikriminalisasi. Apalagi fakta-fakta yang dilampirkan kuasa hukum Aji Arty dinilai relevan dengan berbagai kejanggalan menimpah ibu rumah tangga (IRT) yang diketahui sebagai tulang punggung keluarganya itu.

Berikut sejumlah kejanggalan dalam kasus dugaan kriminalisasi Aji Arty.

1. Bermula dari komentar Multitafsir

Kasus Aji Arty bermula dari komentarnya menggunakan akun Aji Arty Gusti atas postingan
Akun Saodah Al Fath
“ALLAHU AKBAR…DOAMU MELAWAN KAUM
KAFIR”. Begitu tulisnya. Ujaran ini adalah komentar dari post Akun Saodah Al Fath
di Grup Facebook Pilkada Sidenreng Rappang 2018 dengan maksud mendukung Hadis yang postingan dan komentarnya ditujukan kepada akun palsu yang bertebaran di group tersebut dan kerap mengeluarkan komentar seenaknya.

“Komentar tidak spesifik
ditujukan kepada subjek, dan menyebut subjek sehingga masih multitafsir.
Ada permintaan maaf dan kalrifikasi oleh Aji Arty,” kata Ibrahim Massidenreng salah satu kuasa hukum Aji Arty kepada media.

2. Dilaporkan 9 Petinggi Parpol dan Oknum Mencatut FPI

Aji Arty dilaporkan 9 petinggi partai politik (Parpol) Sidrap yang tersinggung oleh kalimat unggahan komentar tersebut. Fakta lainnya, sebelum melaporkan Aji Arty dua petinggi Parpol diantaranya, partai Hanura dan PAN tertangkap foto di kubu paslon Pilkada nomor 1 FATMA (Fatmawati Rusdi – Abdul Majid) terlibat baku lempar dengan pendukung DOAMU yang berusaha mereka cegat saat menggelar unjuk rasa bersama forum penegak demokrasi Sidrap. Akibatnya antipati masyarakat belakangan muncul dengan kata tinggalkan parpol tirani dan tangan besi, itu viral di sosmed.

Selain 9 petinggi parpol, juga ada oknum bernama Andi Sose yang mencatut Front Pembela Islam (FPI) melaporkan Aji Arty ke Polda Sulsel.

3. Laporan Polres Tak Berdasar

Polres membuat laporan Model A tidak berdasar hukum karena Pasal yang diduga adalah delik UU ITE yang mana sebagai delik aduan butuh klarfikasi
terlebih dahulu apakah Pelapor (9 Parpol dan Andi Sose) bertindak untuk dan atas nama Partai atau pribadi.

“Jikalau berdasarkan Mandat partai apakah dilengkapi dengan surat mandat sebagaimana diatur dalam AD/ART. Apakah Pelapor mengatasnamakan Partai dan Ormas sebagai Korban itu berdasarkan hasil Musyawarah Partai,” tambah Ibrahim Massidenreng.

4. Kasat Reskrim Polres Sidrap Tak Ada Surat Tugas

Penjemputan Aji Arty di kediamannya
(Pangkajene) oleh kasat Reskrim Polres Sidrap AKP Anita Taherong dan dibawa ke Polda Sulsel Tidak memperlihatkan Surat Tugas dan Surat Perintah Penangkapan. Olehnya itu, penjemputan paksa oleh AKP Anita Taherong dinilai upaya perampasan Kemerdekaan dan tindakan yang tidak sah secara hukum.
“AKP Anita Taherong telah melakukan tindakan yang tidak professional,” tegas Ibrahim.

5. Kasusnya Disidik Marathon, Dipaksakan?

Pengambilan BAP Para pelapor dan Saksi Terkesan terburu-buru dan dipakasakan.
Penyidik menerbitkan surat penangkapan No. SP.Kap/19/IV/2018/Ditreskrimsus tertanggal 16 April 2018. Diberikan tanggal 17 April 2018 (pagi). Penyidik menerbitkan Surat PenetapanTersangka dengan No. S.TAP/13/IV/2018 Ditreskrimsus tertanggal 16 April 2017 dengan dugaan pasal 45 A ayat 2 Subs pasal 28 ayat 2 UU No. 11 tahun 2011 tentang ITE dan Polres sidrap diberikan tanggal 17 April 2018 (Pukul 16.00 WITA). Penetapan tersangka masih sangat premature dengan alasan memasukkan Korban Pasal 156A KUHP.

Dokumen elektronik sebagai alat bukti tidak di nilai oleh Ahli digital Forensik/Ahli ITE, Belum memeriksa ahli bahasa untuk menilai Konten, apakah mengandung pencemaran nama baik dan atau kebencian, belum memeriksa ahli UU ITE apakah konten tersebut spesifik atau pun masih multitafsir. 18.00 WITA 17 April 2018 Penyidik mengeluarkan surat Perintah Penahanan No. SP.Han/19/IV/2018/Ditreskrimsus tertanggal 17 April 2018.

18 April 2018 Penyidik mengeluarkan Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dengan nomor: A3/12/IV/2018 Ditreskrimsus dasar laporan Polisi N0. LPB/214/IV/2018/SPKT/SSL/RES SIDRAP tertanggal 15 April 2018 dengan pelapor Atas nama Andi Sose.

Pada tanggal 16 April 2017 pukul 21.30 penyidik memeriksa diam-diam Hj. Suharti tanpa di memberitahu Kuasa Hukum. Pada tanggal 17 April 2018, Kuasa hukum keberatan dan meminta membatalkan BAP tersangka, terlebih lagi penyidik belum memberikan penetapan tersangka dengan alasan masih Proses.

Dari beberapa laporan yang masuk Penyidik hanya memasukkan laporan
Polisi Andi Sose dan FPI sebagai Korban dasar sprindik, penetapan Tersangka dan SPDP.

Namun pada 21 April 2018, Pengurus FPI Kabupaten Sidrap melayangkan Surat Klarifikasi yang ditujukan kepada Kapolda Sulawesi selatan dengan Klasifikasi mendesak dan Penting dengan Nomor: 002/M/DPW￾FPI/IV/PS/2018 tertanggal 21 April 2018. Surat ini ditembuskan Kepada Kuasa Hukum Aji Arty Muh Israq & Partner di Makassar.

“Bahwa FPI tidak pernah memberikan mandat ataupun penugasan kepada Andi Sose untuk mewakili FPI dalam melakukan Pelaporan Polisi terkait perkara Aji Arty. FPI juga tidak pernah memberikan Penyampaian kepada Andi Sose kalau ujaran Aji Arty itu mendudukkan FPI sebagai Korban.

Dengan demikian penetapan tersangka atas Laporan Polisi Nomor Laporan Polisi No. LP/214/IV/2018/SPKT/SSL/ tidak mempunyai lagi legal standing dan berpotensi mengadung pidana yakni memasukkan laporan palsu,” tandas Ibrahim Massidenreng.

Fakta-fakta sidang praperadilan

6. Polres Sidrap dinilai salah prosedur

Salah prosedur dimaksud mulai dari kasat Reskrim mengamankan Aji Arty tanpa dilengkapi surat tugas dan penangkapan hingga penyidik kepolisian resor (Polres) Sidrap ataupun penyidik Krimsus Polda yang dinilai sewenang-wenang dan langsung mengamankan Aji Arty tanpa adanya surat tugas sesuai pasal 18 ayat (1) KUHAP.

7. Tiga Anggota Polres Ikut Diambil Keterangannya

Tiga anggota polisi dilingkup polres Sidrap ikut bersaksi dalam kasus dugaan kriminalisasi Aji Arty dengan dalih bukan menangkap melainkan hanya mengamankan. Saat itu bersama kasat Reskrim tanpa surat tugas dan perintah ketiganya turut mengamankan Aji Arty dengan dalih keselamatan korban terancam.

Faktanya informasi tersebut mereka dapatkan di media sosial yang disebar oleh akun anonim (palsu).

“Bahwa termohon bersama-sama pihak polres Sidrap melakukan penangkapan atas diri pemohon (Aji Arty) pada hari Minggu tanggal 15 April 2018 pukul 20.00 malam tanpa adanya surat penangkapan, pada malam itu termohon menakut-nakuti pemohon dengan alasan adanya massa yang mengancam keselamatannya,” ujar Muh Israq, ketua tim kuasa hukum Aji Arty.

8. Hakim Tak Pertimbangkan Bukti Pemohon

Hakim praperadilan, kasus dugaan kriminalisasi Aji Arty, Andi Maulana terancam dilaporkan ke Komisi Yudisial oleh tim kuasa hukum. Hakim tunggal itu dinilai langgar kode etik dengan tidak mempertimbangkan bukti laporan polisi model A yang diajukan pemohon di persidangan.

“Ada apa kok hakim tidak mempertimbangkan bukti surat pemohon?. Kami melihat ini pelanggaran kode etik oleh hakim tunggal praperadilan,” tegas Muh Israq.

9. Apakah Karena Mendukung paslon DOAMU, Aji Arty Dipaksakan Pidana?

Ditolaknya praperadilan Aji Arty di PN Sidrap ternyata menimbulkan reak masyarakat. Sebagian besar berasumsi keputusan tersebut timpang. Apakah karena Aji Arty mendukung salah satu Paslon Pilkada sehingga dia dipaksakan jerat pidana? Terlebih Aji Arty merupakan salah satu pendulang suara DOAMU terutama perempuan. Tidak sedikit yang mengikuti langkahnya sebagai tokoh perempuan, sayangnya ia harus terbungkam oleh dalam merayakan pesta demokrasi.

Banyak kemudian yang membandingkannya dengan kasus keterlibatan salah satu kepala dinas (Disosdukcapil) Syaharuddin Laupe (Sarlop) yang terang-terangan terlibat politik praktis di Pilkada, sementara dalam putusan sidang dikenakan pidana percobaan 1 bulan lebih (tanpa ditahan) dengan pertimbangan menjabat sebagai aparatur negara dan ada keluarga yang dihidupinya.

“Apakah karena Aji Arty mendukung DOAMU dia dipaksakan penjara? lantas bagaimana dengan pak Sarlop yang nyata-nyata adalah Aparat negara terang-terangan mendukung FATMA hanya dikenakan hukuman percobaan 1 bulan lebih (tidak di tahan). Apakah hukum begitu membedakan jenis dan golongan?,” kata Ibu Nani salah seorang masyarakat.

Editor: Ahmad

Tinggalkan Komentar