Makassar, PANRITA.News – Beduk ditemukan dalam pelbagai kebudayaan. Tidak saja masyarakat muslim Indonesia, tetapi di Tiongkok, dan Jepang. Beduk juga dijadikan sebagai ritual keagamaan. Beduk secara khusus jika berada di masjid digunakan sebagai tanda sebelum azan. Tidak saja di Jawa, masjid di Soppeng yang berbatasan dengan Bone di Sabbangparu (Sulawesi Selatan) juga menggunakan beduk sebagai penanda bunyi sebelum azan dikumandangkan.
Maka, dalam bulan Ramadan ini selain azan yang ditunggu, juga bunyi beduk. Bahkan salah satu icon dalam pelbagai gambar baik ucapan ataupun iklan yang berhubungkait dengan Ramadan adalah beduk. Hiasan di pusat perbelanjaan juga menjadikan beduk sebagai hiasan.
Ini fungsi secara terbatas. Sekalipun berasal dari peninggalan era sebelum Islam di Jawa, beduk tetap digunakan hingga kini. Secara luas fungsinya sebagai alat pemanggil. Begitu juga dalam kondisi perang, huru-hara, atau kejadian bencana.
Ada pula yang menyebutnya sebagai peninggalan Tiongkok Jawa. Konon, usai pelayaran Cheng Ho ke tanah Jawa. Saat hendak pulang ke kerajaanya, beduk menjadi hadian yang diserahkan. Sejak saat itu, beduk menjadi bagian dalam penanda masuknya waktu salat.
Di Tiongkok, beduk diletakkan di kuil. Juga berfungsi sebagai bagian dari aktivitas perang. Penanda untuk perubahan strategi perang, dan juga adanya perintah terkait dengan instruksi khusus seperti formasi, dengan menggunakan media beduk.
Sementara di Jepang, beduk juga ditempatkan di kuil. Begitu pula dalam matsuri (festival) di pelbagai musim, beduk digotong bersama. Sementara dalam kondisi kekinian, beduk digunakan sebagai instrumentalia musik, termasuk di atas panggung dalam sebuah konser yang besar di stadion.
Dengan anggapan bahwa beduk sebagai peninggalan zaman Hindu, Imam Samudra (pelaku Bom Bali yang sudah dieksekusi pengadilan) pernah secara khusus merusak beduk yang ada di kampungnya, Lopang Gede, Serang, Banten.
Begitu pula pada tahun 1930-an Muhammadiyah dan Persis mengganggap beduk sebagai perbuatan bid’ah. Sehingga di masjid kedua organisasi keagamaan itu tidak menggunakan beduk. Seiring dengan pemahaman keagamaan yang bisa mengerti bahwa beduk sebagai alat budaya saja, maka Muhammadiyah kemudian menyatakan bahwa takbir diiringi music seperti beduk tetap saja bisa dilakukan sepanjang itu dengan niatan sebagai syiar. Kecuali, jikalau menggangu pelaksanaan takbir, maka sebaiknya tidak digunakan.
Sementara itu, ada juga yang menggunakan kentongan. Sekalipun, kentongan digunakan juga di pos kamling. Bahkan di desa-desa Kajuara (Bone, Sulawesi Selatan) dalam satu waktu, kentongan di pasang di masing-masing rumah warga saat menjelang 17 Agustus. Awalnya sebagai hiasan, tetapi juga menjadi alat keamanan lingkungan.
Kuil-kuil Jepang, menempatkan kentongan juga di pintu masuk. Semilir angina kemudian menggaungkan bunyi tertentu dari kentongan-kentongan itu. sebagaimana dengan beduk tadi, fungsi kentongan mengalami perluasan. Tidak saja sebagai tanda berkumpul, tetapi untuk menjadi alat komunikasi di kala bencana, duka cita, dan informasi lainnya.
Dalam satu kesempatan di Kauman, KH Ahmad Dahlan mengumpulkan warga untuk pertemuan. Mengundang warga untuk berkumpul dengan menggunakan kentongan. Dalam kesempatan tersebut, kentongan menjadi alat yang efektif dan fungsional. Saat ini, bolehjadi ada alat ataupun media yang fungsional sehingga perlahan kentongan mulai ditinggalkan.
Selain sebagai sebuah benda, dengan menggunakan g (bedug) adalah merupakan nama tempat (Pasa, Sahria, dan Anggoro, 2023; Nisa & Arifin, 2021). Beduk, secara khusus dalam beduk rampak menjadi komunikasi yang digunakan lintas agama (Putri, Setiawati, & Hussain, 2022). Bahkan melampaui itu, juga menjadi bagian dalam pengembangan pariwisata (Prisada, dkk, 2019). Seni (Muchsin, 2021) dan industry kreatif (Faridi, Rokhman, & Syaifudin, 2014).
Baik beduk maupun kentongan kini juga difungsikan sebagai alat “pasukan” patrol untuk membangunkan warga. Tidak saja di lingkungan perumahan atau wilayah kecil saja. Bahkan, patrol tadi, bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan mobil. Ini sebuah dakwah dalam arti terbatas sekaligus juga hiburan.
Di Sidrap dalam kunjungan beberapa waktu lalu, saya bertemu dengan rombongan patriol. Mereka merelakan tidur malamnya untuk membangunkan warga lain untuk sahur. Perumahan saya di Antang, remaja masjid juga bergotong royong membangunkan warga. Mereka juga menyediakan waktu secara khusus dengan menabuh beduk dan kentongan untuk membangunkan warga.
Dalam Ramadan, beduk dan kentongan menjadi instrumentalia dalam bergotong royong. Membangunkan warga dari lelap tidur. Sehingga mereka bersiap untuk memasak ataupun sekadar memanaskan hidangan untuk keperluan sahur. Maka, makna beduk dan kentongan bertambah meluas menjadi alat membangunkan untuk sahur dalam Ramadan. Kesemuanya masih dalam konteks gotong royong.
*Ismail Suardi Wekke, Wakil Ketua Umum MPP Pemuda ICMI.
Tinggalkan Komentar