Makassar, PANRITA.News – Ramadan menjadi kesempatan untuk mendaras. Proses membaca ini kemudian ada juga yang menyebutnya dengan tadarus. Ini sebagai apresiasi bahwa Ramadan adalah bulan yang menjadi momen turunya ayat pertama. Sekaligus juga, sebagai perayaan malam nuzulul quran.
Sejarah Peradaban Islam dalam pelbagai lintasan dan fragmen dapat tetap disampaikan ke generasi saat ini hanya melalui tulisan. Begitu pula dengan transmisi Hadis (Umar, 2013). Begitu pula formulasi keilmuan di Asia Tenggara dapat dipetakan hanya karena ada tulisan. Baik yang berbahasa Jawa, maupun yang dituliskan dengan bahasa Arab (Burhanuddin, 2022). Kesemuanya ini menjadi gambaran betapa menulis adalah bagian dari “nafas” individual muslim.
Mengamati kondisi sepanjang Ramadan dalam lingkungan pertemanan yang terlihat di media sosial, ada beberapa senior yang rutin menulis (paling tidak dalam ramadan kali ini). Saya melihat Prof. Bahaking Rama menulis dengan tema kelong (pesan dari lagu-lagu Makassar). Sementara kak Aziz Muslimin (Rektor Institut Teknologi Amanagappa, Makassar) menulis dengan nama Catatan Pinggir. Kesempatan menulis ini menjadi pendorong produktifitas sehingga aktivitas menulis juga disertakan dalam penerbitan opini di Harian Fajar (Makassar).
Ramadan, sebelum ini Kak Wahyu menulis di harian Tribun, kemudian dijadikan buku. Terbit dengan judul “Taat Ritual Tuna Sosial” (Cara Baca, 2021). Meneruskan himpunan tulisan itu, kemudian ditambahkan dengan satu bab yang berjudul “Ramadan di Masa Pandemi Covid-19 dari Ritual Kolektif ke Ritual Kontemplatif”.
Mencermati bahwa apa yang dilakukan kak Wahyu, merupakan standar yang ideal. Selain tercetak di Harian Tribun Timur, juga dibukukan. Sehingga selain dapat dibaca pada masa-masa bulan Ramadan. Dapat disimpan dan dibaca pada kesempatan berikutnya.
Dalam kaitan dengan membaca ini, Ridha menyebutnya Cara Baca. Maka sekalipun bercanda, saya meneruskan dengan istilah Cara Simpan. Apa yang ditulis kak Wahyu dalam Koran harian, tidak akan tersebar luas kalaulah tidak disimpan dan kemudian disunting menjadi buku.
Justru dengan adanya buku ini, akan menjadi peluang ketersebaran yang lebih luas. Berbanding hanya dengan Koran saja. Kata “Cara Simpan” bisajadi diartikan secara sempit repository. Soal simpan-menyimpan ini, kita akan bahas dalam kesempatan yang lain.
Kembali ke soal menulis. Kumpulan-kumpulan tulisan, seperti kak Wahyu, juga dapat ditemukan dalam karya AG Quraish Shihab “Membumikan Alquran”. Begitu pula dengan karya allahuyarham Nurcholish Madjid “Islam Doktrin dan Peradaban”.
Kedua karya sarjana tersebut, diawali dari tulisan untuk kesempatan pengajian, kemudian dihimpun menjadi buku. Jika karya Quraish Shihab adalah merupakan pengajian di Istiqlal, maka karya Cak Nur berawal dari pengajian di Paramadina.
Maka, tulisan-tulisan seperti pengajian kemudian menjadi buku yang “berpengaruh”. Ini juga memungkinkan dari ceramah/khutbah selama Ramadan.
Jikalau saja, dituliskan kemudian dihimpun menjadi sebuah buku, maka tidak hanya baju baru yang menjadi tanda hadiah kegembiraan di idul fitri tetapi juga buku. Atau bahkan dalam hampers yang dikirim jelang idul fitri bisa dalam bentuk buku.
Ini merupakan bagian dari penerbitan buku yang semarak. Selama Ramadan, institusi keagamaan menuliskan tema-tema kajian. Kemudian dicetak dan dijadikan sebagai instrumen produksi keilmuan.
Buku Al Fiqhu Al Manhaji ‘ala Madzhabi Al Imam Asy Syafi’i, (Al Khin, Al Bugho, & Asy Syabajiy, 1430 H) mengemukakan kewajiban membaca teks dalam khutbah Jumat berdasarkan Imam Syafii. Jikalau para penganut Syafii menulis naskah khutbah sepanjang Ramadan yang setidaknya ada empat hari Jumat, ditambah dengan idul fitri, maka akan tersedia lima naskah dari setiap masjid.
Ketika masjid di Maros (Sulawesi Selatan) berjumlah 720 masjid, setengah diantaranya ada yang menyediakan empat naskah khutbah dalam Ramadan. Maka, akan tersedia 1.440. Jumlah ini akan cukup menjadi sebuah buku sampai 140 buku dengan masing-masing 10 bab dalam setiap buku.
Olehnya Ramadan selain dengan segala atribut yang mengiringinya, dapat pula menjadi bulan proses kreatif. Menulis menjadi salah satu jalan yang dapat dilalui. Sehingga akan memberikan kesempatan untuk menyumbangkan produksi keilmuan melalui aktivitas sepanjang Ramadan. Tidak harus duduk dengan menulis sebagai aktivitas utama. Tetapi, dalam setiap kesempatan seperti kultum, ceramah singkat, maupun khutbah menjadi peluang untuk dijadikan sebagai draft awal sehingga bisa diolah menjadi buku.
Sekalipun tidak diterbitkan menjadi buku, namun tersimpan di website masjid tetap saja akan “abadi”. Sehingga boleh diakses setiap orang. Dalam posisi ini, juga menjadi peluang untuk mengiplementasikan Open Science (sains terbuka). Sehingga akan bertemu pesan-pesan Ramadan, tradisi keilmuan dalam Islam, dan juga semangat mengelola masjid yang produktif.
*Ismail Suardi Wekke, Wakil Ketua Umum MPP Pemuda ICMI.
Tinggalkan Komentar