Jadi Narasumber Dialog Budaya, Sekkab Gowa Ajak Masyarakat Jaga Eksistensi Lontara

Dialog Budaya "Menangkap Pesan Leluhur Gowa".

Dialog Budaya "Menangkap Pesan Leluhur Gowa".

Gowa, PANRITA.News – Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Gowa H. Muchlis menjadi salah satu narasumber pada Dialog Budaya Menangkap Pesan Leluhur Gowa di Gedung D’Bollo, Jalan Tumanurung, Sabtu (28/09).

Selain Muchlis, budayawan Drs. H. Mallingkai Maknun, serta pemerhati budaya Ahmad Pidriz Zain yang juga pelopor dari kegiatan ini menjadi narasumber.

Kegiatan yang diselenggarakan Yayasan Budaya Bugis Makassar (YBBM) yang merupakan lembaga pengkajian di bidang sosial budaya (social cultural).

Dalam kesempatan tersebut Muchlis mengajak seluruh elemen masyarakat agar terus menjaga warisan budaya yang dimilikinya. Salah satunya huruf lontara yang menjadi kebanggaan masyarakat Gowa dan Bugis-Makassar.

Ia menjelaskan, pasalnya dalam huruf lontara tersebut mengandung makna mendalam. Secara filosofi huruf lontara memiliki keunikan bentuk, sementara untuk teknis penulisan aksara lontara mengandung makna mendalam.

Menurutnya, huruf lontara tidak mengenal garis melengkung atau garis bengkok. Hanya ada garis lurus ke atas dan garis lurus ke bawah. Kemudian pada pertemuan kedua garis lurus tersebut terdapat patahan.

“Makna yang tergambar pada huruf lontara ini merupakan perwujudan dari karakter orang Gowa ataupun Bugis-Makassar yakni mencintai kejujuran, serta menjunjung tinggi kebenaran sesuai semboyan garis lurus tersebut yang berarti lebih baik patah dari pada bengkok,” katanya.

Dirinya pun mengaku bangga dialog seperti ini dapat digelar, karena dalam pertemuan seluruh pihak dapat melahirkan pemikiran-pemikiran strategis yang akan dijadikan acuan dalam rangka penyusunan kebijakan, strategi dan program-program strategis pembangunan kebudayan di masa yang akan datang.

Sementara itu, Ahmad Pidriz Zain menyinggung sejarah kabupaten gowa terkait dengan tumanurung (Dewa dari Langit), Syeikh Yusuf (Penyiar Ajaran Islam di Bugis-Makassar).

“80 persen kesejarahan gowa, Adat istiadat Gowa tidak lepas dari sejarah turunnya Tumanurung (Dewa yang turun dari langit) ketika spiritualnya dilepaskan maka maka lenyaplah adat istiadat itu,” jelasnya.

Lontara itu Aksa pertama di dunia yang dikaji dan dibuktikan keabsahannya melalu penelitian ilmiah sebagai warisan leluhur.

“Pesan Leluhur itu bukan hanya berbentuk ucapan kemudian dituangkan dalam bentuk teks, tapi lebih pada nilai, artinya antara iqrar, ucapan, dan tindakan harus mampu menyatuh dalam diri kita,” ujar Pidris.

“Pappasang atau pesan jangan hanya dijadikan sebagai cerita dan sekedar nama, tapi pesan itu harus dikembalikan (ammoterang) kepada setiap individu,” lanjut Pidris.

Turut hadir sejumlah budayawan, seniman, tokoh agama, tokoh kesenian, praktis kebudayaan, akademisi, mahasiswa, pemerhati budaya, dan lainnya.

Tinggalkan Komentar