Dirgahayu Bulukumba dan Fragmen Ke-Bulukumba-An

Mansur

HMI Makassar

Oleh: Mansur

Bulukumba itu apa? 

Dimasa lalu. Apakah Konjo itu Bulukumba, ataukah yang berbahasa Bugis itu Bulukumba?

Dan apakah Kindang, Batang Bontotanga, Lemo-lemo, Tanete, Hero di masa Pemerintahan kolonial (afdeling) bisa dikatakan Bulukumba. Ataukah, Apa cerita Somba Palioi, Dato’ ri tiro atau cerita tentang Dato karama, sebelum tahun 1960 melengkapi cerita peristiwa hari-hari masyarakat warga Bulukumba.

Jika pertanyaan-pertanyaan ini, dibawah kepada masa sekarang, maka, mewakili generasi saat ini. Saya akan berkata. Bagaimana bisa ada sebuah pertanyaa yang lahir dari sesuatu yang tidak berdasar. Bagi saya, sebagai generasi lahir sangat jauh dari masa Pemerintahan Bapak Andi Patarai sebagai Bupati Pertama di kabupaten Bulukumba yang dilantik pada 12 Februari. Jelas akan menempatkan kalimat pertanyaan diatas, sebagai upaya sistematis untuk memberangus harmoni yang terdapat dalam kehidupan masyarakat kabupaten Bulukumba. Artinya, apapun yang mendatar belakangi kisah Bukulumba Ku, tetaplah ia lahir dari satu paradigma tunggal. Nyaris sama dengan Bone, Gowa atau Kabupaten- kabupaten lainnya di Sulawesi. Titik!

Hari ini, tepat di tanggal dan bulan terbentuknya Kabupaten Bulukumba. Sejenak saya membaca beberapa kisah dari beberapa literatur. Dan, saya terhenyak membaca beberapa hal dan mencoba menafsir fase sebelum dan terbetuknya Kabupaten Bulukumba. Bahwa proses terbentuknya suatu daerah, tidak saja harus dimaknai sebagai sebuah peristiwa politik (penyatuan beberapa wilayah admistratid/ identitas kebudayaan kedalam satu bentuk pemerintahan administratif)
tetapi, juga harus dimaknai sebagai sebuah peristiwa kebudayaan (Bahwa prinsip etik, nilai budaya yang hidup di jaman sebelum 1960, berubah menjadi estetika kewargaan). Jika, saya mencoba menafsirkan Bulukumba dengan cara Bermuhasabah seperti ini, maka menggunakan cara pandang lewat kondisi hari ini, adalah sesuatu yang menurutku cukup adil untuk berspekulasi pada sesuatu yang mendasari lahirnya peristiwa yang hari ini kita rayakan dan ekspresikan bersama.

Pertanyaannya adalah, Hal apa yang mendasari para tetua kita membentuk Kabupaten Bulukumba. Bulukumba yang seperti apa yang di harapkannya. Kabupaten Bulukumba yang bercita rasa Konjo kah,  Bugis, atau apa). Atau, Bulukumba dalam identitas Warga Batang Hero, Hero kah, Kindang kah, atau Tanete. Dan kisah yang mana yang ingin di identikkannya, Dongko karaeng tiro kah, Amma Toa ri Kajang kah, Kisah I Masanrangan Daeng Manai di Kindang, atau kisah Karaeng ri Nagauleng Mangngakua Dg Pasau di Tanete? Semoga spekulasi saya tidak termakai sedang menelikung argumentasi Bulukumba sebagai upaya kontrol stabilitas politik.

5 Februari 1960 tetaplah harus dimaknai sebagai seremoni  seni – budaya puncak kebudayaan Bulukumba. Artinya nilai adiluhung yang di identikkan sebagai prinsip identitas – identitas budaya mengalami perubahan. Terbentuknya satu wilayah Kabupaten adalah Deklarasi perubahan identitas. Dari ara menjadi Bulukumba, dari Hero menjadi Bulukumba,Dari ganjaran-ganjaran menjadi Bulukumba, Ujung Loe menjadi Bulukumba. (Identitas Bahasa Konjo, Bugis, Makasar =  Bulukumba). Berbahasa satu Bahasa Bulukumba, Ber Budaya satu Budaya Bulukumba, Ber warga satu Kewargaan Bulukumba. Jadi prinsip etis yang dideklarasikan pada hari ini, adalah prinsip etis warga Bulukumba. Dan ImplikasiKe – Bulukumba – An nya berarti kesetaraan manusia dan kesamaan hak dalam komunitas politik Bulukumba. Hal – Hal yang berdimensi Sosial – Cultural (keragaman bahasa, kemajemukan budaya menyatu dalam bingai Kewargaan Bulukumba yang termaknai dalam peristiwa hari -hari kita. Seperi apa, dan Bagaimana kita memaknai Bulukumba saat ini?

Inisiatif pertanyaan ini, adalah jalan “Bermuhasabah” dari saya, setelah membaca penomena ancaman nyata yang sedang kusarasakan saat ini. Menempatkan pemuda sebagai entitas yang terpilih dan bertanggung jawab terhadap aksara – aksara nilai yang membudaya dan membumi dalam deklarasi Ke – Bulukumba – An kita.

“Semoga saya dan kita semua masih menjadi masyarakat Bulukumba“

Sebab, jika kita tidak lagi menjadi Bulukumba, maka Suka atau tidak, siap atau tidak, saat ini, semua stigma prilaku kita sebagai anak kebudayaan Bulukumba tidak lagi berhak atas wajah budaya yang lahir dari generasi yang memiliki kemuliaan cita atas semua penanda, bahwa jejak ilmu pengetahuan yang membawa kita pada hari ini, merupakan jejak klasik yang bermula dari bumi dimana lambusu (jujur), gattang (tegas), Barani (berani), kamase – massea (sederhana) dan Appisoqna (Ikhlas) pertama kali di lakonkan secara sempurna oleh manusia Bulukumba.

Semoga diulang tahun kabupaten Bulukumba yang ke 58 ini, cuaca cultural kita tidak dalam hegemoni yang membawa kita pada titik ego sebagai orang yang lebih benar dari orang lain, kelompok yang lebih baik dari kelompok lain, merasa lebih memiliki nilai dari yang lainnya. Sebab, Sebenar apapun kelompoku, sebaik apapun bahasamu, sekuat apapun nilai budaya yang mereka miliki, para tetua kita telah mengajarkan bahwa cita rasa kebulukumbaan yang sesungguhnya adalah Dirimu yang mampu melewati batas – batas identitas teritorial mu sebagai orang yang berbahasa Konjo, orang yang beradat istiadat Bugis, dan orang yang bernilai budaya mangkasara. Karena dari sanalah romantisisme Ke- Bulukumba An itu diCitakan.

Tinggalkan Komentar