Wamena: Tanah Para Cendekia yang Tangguh

Ismail Suardi Wekke (Pemuda ICMI)

Oleh: Ismail Suardi Wekke (Pemuda ICMI)

PANRITA.News – Selama 24 tahun terakhir, begitu meinggalkan era Orde Baru, Wamena memiliki posisi tersendiri. Tentu saja bagi warga yang menjadikan lembah ini sebagai rumahnya.

Juga, bagi kita di seluruh penjuru Indonesia. Wamena, juga sangat khas dan meninggalkan catatan-catatan dalam perjalanan kehidupan.

Bahkan sebelum itu juga, seorang antrolog Australia sudah menjejakkan kaki sebelum penulis lahir, 1975. Dengan menumpangi pesawat dengan tipe dakocan, mendarat di gunung ini.

Baliem menyimpan pesonanya tersendiri. Sekalipun itu bencana demi bencana menyertainya. Tidak saja sebagaimana bencana yang juga dialami seluruh dunia, pagebluk covid-19.

Sebelum itu, paling tidak dalam skala seentaro wilayah juga mengalami dua bencana di tahun 2020 dan 2019. Sekilas komentar seorang warga bahwa itu siklus 20 tahunan. Dengan harapan semoga di enam belas tahun mendatang, itu tidak terjadi apapun.

Diantara warga yang mendiami lembah ini, tersebutlah Yapis cabang Jayawijaya dengan nama panjang Yayasan Pendidikan Islam di Tanah Papua. Pertama kali terbentuk pada tahun 1968 di Jayapura yang kerap juga disebut Soekarnapura. Sementara, Yapis Jayawijaya dibentuk sejak 1974, dengan alamat sekretariat Yos Sudarso, Jayawijaya dengan ibukota Wamena.

Menjadi bagian dari 22 cabang Yapis se-tanah Papua. Sebuah lembaga yang menaungi aspirasi pendidikan umat Islam.

Jika dicatat dalam pengelolaan seluruhnya, ada 155 lembaga yang biasanya disebut unit pelaksana teknis (UPT). mulai dari 71 taman kanak-kanak (raudhatul athfal atau pendidikan anak usia dini), kemudian 49 sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah, 20 sekolah menengah, dan 5 perguruan tinggi.

Selain UNAIM Yapis Wamena, keempat perguruan tinggi lainnya berlokasi di Jayapura, Biak, Merauke, dan Manokwari.

Khusus di Wamena, Yapis mengelola enam UPT. Sudah disebutkan perguruan tinggi, dan lima lainnya yaitu Pondok Pesantren Al-Istiqamah Walesi, dan MI Merasugun Asso Yapis Walesi berada di lokasi yang sama, kampung Walesi. Pemukiman warga muslim Papua.

Tiga lainnya di kota Wamena. SD At-Thahiriyah Yapis Wamena. Kemudian dua sekolah yang berada di lingkungan Masjid Agung Baiturrahman, SMP Nurul Haq Yapis Wamena, dan SMK Sidratul Muntaha Yapis Wamena.

Sementara UNAIM Yapis Wamena, berada di Hom-hom. Kampus yang ditempati saat ini merupakan lokasi yang kedua setelah sebelumnya berkantor juga di wilayah Masjid Agung Baiturrahman.

Keberadaan 6 UPT ini menjadi layanan tidak saja bagi umat Islam, tetapi bagi keseluruhan warga. Tidak mengenal agama, dan identitas primordial lainnya.

Sekalipun nonmuslim tetap saja diterima. Ini yang menjadi penciri Yapis yang menjadi praktik kelembagaan. Tidak pernah menjadi perhatian, dan sejak awal keberadaan Yapis menjadi rumah bagi warga Papua tanpa terkecuali.

Hanya saja diberi label Islam sebagai penanda bahwa aspirasi ini berakar pada spirit keislaman dalam kaitan dengan penyediaan sarana pendidikan yang tidak mengenal sekat-sekat penanda individual.

Sumbangsih dan peran serta dalam memajukan pendidikan Papua hingga Yapis mendapatkan tempat tersendiri. Undang-undang No. 2 tahun 2021, bahkan secara khusus menyebut nama lembaga ini.

Merupakan sebuah rekognisi dalam ikhtiar menyediakan pendidikan, dan juga pengabdian yang melampaui setengah abad. Tiga tahun lalu, organisasi ini telah merayakan kesyukuran 50 tahun.

Hingga kemudian meletakkan harapan untuk 50 tahun berikutnya dengan tetap dan bahkan memperluas lahan pengabdian. Yapis pusat telah menyediakan lokasi pembangunan sarana pendidikan di Koya (Jayapura) untuk pengembangan aktivitas.
Sementara di Wamena sendiri, UNAIM Yapis Wamena dari bentuk sekolah tinggi kemudian bertransformasi menjadi universitas. Saat STIA Amal Ilmiah Yapis Wamena dengan dua program studi. Kini, sudah berkembang menjadi sepuluh prodi dengan 9 diantaranya jenjang sarjana, dan 1 lagi prodi magister manajemen.

Bencana, tidak menjadikan para pengurus dan anggota Yapis surut. Itu merupakan bagian kehidupan. Kemudian dengannya menjadi penyerta dalam berjuang, berikhtiar, dan berusaha.

Sebuah sikap cendekia yang tidak menjadikan laboratorium di sekolah atau kampus sebagai lahan keilmuan. Justru masyarakatlah yang menjadi lokasi pilihan untuk mengabdikan ilmu yang dikuasainya.

Tinggalkan Komentar