Makassar, PANRITA.News – Sebagai peringatan terhadap turunnya Alquran, masyarakat muslim Indonesia secara khusus merayakan acara Nuzulul Quran. Tidak saja di masjid, bahkan juga secara nasional termasuk dalam agenda acara kenegaraan. Dilaksanakan di istana negara, secara khusus.
Ini merupakan tradisi yang dilaksanakan sejak zaman Presiden Soekarno setelah mendengarkan nasihat para ulama. Sekalipun dilaksanakan dengan sangat sederhana, begitu pula di masjid-masjid, tetap saja dilangsungkan dari tahun ke tahun. Termasuk ketika itu masa-masa pandemic, digelar dengan acara daring. Kehadiran para pejabat di ruangan istana negara, dibatasi dan terbatas.
Terkait dengan keperluan untuk menyebarluaskan pemahaman Islam maka sekelompok cendekiawan muslim menerbitkan Jurnal Ulumul Quran yang diprakarsai Lembaga Studi Agama dan Filsafat. Kali pertama terbit 1990, dengan redaksi yang dipimpin Dawan Rahardjo. Hanya saja, majalah tersebut kini tidak terbit lagi.
Dengan keprihatinan akan tidak terbitnya majalah tersebut, CIDES ICMI yang dipimpin Andi Faisal Bakti memprakarsai kembali terbitnya dengan spirit yang sama, namun dengan nama “Ulum Al-Quran”. Perkenalan jurnal ini, dilaksanakan dalam sebuah acara yang megah sebagai rangkaian acara Ramadan MPP ICMI, di Jakarta.
Memenuhi tuntutan kontemporer, maka Ulum Al-Quran diterbitkan dalam format jurnal. Sekaligus juga tersedia dalam bentuk versi daring yang dikelola menggunakan platform Open Journal System (OJS). Dengan demikian, tidak saja memenuhi keperluan akan bacaan yang bertema Alquran, tetapi juga menjadi layanan bagi tuntutan publikasi untuk penulisnya.
Sehingga dengan penerbitan jurnal ini yang menyemai semangat majalah Ulumul Quran menjadi sebuah langkah untuk menyediakan bacaan dan penelitian terkini. Dalam hal ini, terkait dengan isu-isu interdisipliner Alquran yang tidak hanya sebatas pada Alquran sebagai bacaan semata. Tetapi juga bagaimana pembacaan terhadap kondisi kekinian dan juga hubungannya dengan Indonesia.
Satu hal lagi, soal membaca Alquran. Dimana Indonesia memiliki tradisi Musbaqah Tilawatil Quran disingkat MTQ. Diprakarsai secara nasional pertama kali di Makassar yang diusulkan oleh RRI, dan IMMIM. Sehingga ini menjadi agenda nasional dari waktu ke waktu sampai sekarang. Bahkan, kini dilaksanakan pula STQ (Seleksi Tilawatil Quran), dimana hanya memperlombakan beberapa cabang tertentu saja.
Pelaksanaan MTQ/STQ tidak terbatas pada wilayah yang didiami muslim secara mayoritas. Bahkan di daerah minoritas sekalipun juga tetap terlaksana. Dimana wakil bupati/wakil walikota ex officio menjadi ketua LPTQ, lembaga yang mengelola pelaksanaan MTQ/STQ. Seperti di Papua, bahkan dalam pelaksanaan MTQ nasional di Batam, kafilah Papua Barat menempati 10 besar. Bisa bersanding dengan Aceh yang disebut sebagi serambi mekkah, dan Sulawesi Selatan yang disebut serambi Madinah. Begitu pula kabupaten di wilayah Maluku, dan Maluku Utara (Baharuddin, Jamaa, & Syarif, 2022) juga melaksanakan MTQ/STQ sekalipun dengan kendaanya masing-masing.
Justru tradisi MTQ menyebar dan kini dilaksanakan di pelbagai negara. Tidak saja di Asia Tenggara, sebagaimana Malaysia dan Brunai Darussalam yang menyelenggarakan berkala. Bahkan negara Timur Tengah seperti Kuwait juga telah melaksanakan secara rutin. Begitu pula di Afrika, Tunisia juga telah melaksanakan secara terjadwal.
Maka, dengan tiga hal tersebut, perayaan nuzulul Quran, jurnal Ulum Al-Quran, dan MTQ bersama STQ menjadi gaya Indonesia untuk merayakan Alquran. Sekalipun ini tentu tidak lepas dari kritik bahwa Alquran bukanlah sebagai sebuah nyanyian. Hanya saja sebagai instrument untuk mempelajari dan mendalami Alquran, maka ini sebuah langkah strategis.
Alquran dapat menjadi instrumen metode pembelajaran (Hakim, 2014). Melalui aktivitas yang dilaksanakan ini walau dalam tiga contoh saja, bisa menjadi sebuah langkah dalam mempelajari Alquran. Sementara itu, perkembangan saat ini juga tahfidz Alquran menjadi model tersendiri dalam pengelolaan pendidikan Alquran.
Bahkan hafalan Alquran diperkenalkan sejak balita (Herma & Kusyairy, 2020). Terlebih lagi pada pendidikan dasar, dan menengah. Sekalipun, selalu saja ada keresahan terkait dengan bacaan dan hafalan Alquran. Maka, institusi perguruan tinggi keagamaan tertentu mensyaratkan ujian baca tulis Alquran bagi calon alumni yang akan menempuh ujian akhir.
Akhirnya, apa yang diekspresikan dalam pelbagai bentuk tersebut, merupakan cara mendekati Alquran. Termasuk terkait dengan belajar tentang Alquran. Sehingga akan memudahkan jalan dalam mencerap pesan-pesan Alquran sebagai bentuk yang dirayakan dari tahun ke tahun. Jikalau Alquran telah selesai turun, maka dengan Nuzulul Quran adalah cara menurunkan Alquran ke hati masing-masing individual muslim.
*Ismail Suardi Wekke, Wakil Ketua Umum MPP Pemuda ICMI.
Tinggalkan Komentar