Zakat, Infaq, Sadaqah, dan Wakaf: Melampaui Tradisi

Makassar, PANRITA.News – Judul ini disalin dari sebuah spanduk yang terbentang di Kota Malang. Dimana salah satu kota bersama-sama dengan wilayah lain di Indonesia, sejak dua dekade lalu atau bahkan sebelumnya turut mempromosikan keberadaan zakat dan aktivitas yang semacamnya dengan konteks berbeda. Dapat disingkat dengan ziswaf (zakat, infaq, sadaqah, dan wakaf).

Dengan kantor di Surabaya, bernaung dalam institusi dengan nama Dana Sosial Al-falah. Memiliki pula kantor di beberapa kota lain seentaro Jawa Timur. Sejak awal mengumpulkan dana ziswaf. Bahkan sebelum undang-undang zakat ditetapkan.

Saat menempuh pendidikan magister di kota Malang (2000-2002), Dana Sosial Al-Falah telah beroperasi. Masa itu, di kampung saya pembayaran zakat belum di UPZ tetapi masih di guru mengaji. Al-Falah telah melakanakan pelbagai kegiatan pengumpulan dana, dan kemudian didistribusikan dengan cara yang terorganisir sehingga berdampak. Termasuk di antara kawan sekelas kami yang memperoleh bantuan pembayaran spp melalui ashnaf fi sabilillah.

Itu juga yang bisa disaksikan dilakukan Baznas Maros (Sulawesi Selatan). Dimana bahkan Baznas Maros mendampingi petani jahe merah di Patanyamang. Juga melakanakan kegiatan bedah rumah bagi warga miskin. Serta memberikan bantuan penyelesaian studi bagi mahasiswa di pelbagai tingkatan. Aktivitas terkait bantuan penyelesaian studi, diprogramkan Baznas Barru. Bahkan Baznas Barru menfasilitasi beasiswa bagi siswa sekolah menengah yang ditempatkan secara khusus di SMP 17 Barru.

Sementara Dompet Dhuafa (DD), menyediakan arama bagi mahasiswa penerima beasiswa. Juga mendirikan sekolah. Tidak lagi terpusat pada penyaluran zakat dengan pemberian uang tunai saja. Tetapi juga pada pendampingan belajar, dan kemahiran berwirausaha. Sebagaimana di Letta (Pirang), DD mendampingi petani kopi. Bagaimana peningkatan produksi dan juga pemasaran.

Saya menduga ini merupakan tindakan yang dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan. Untuk mudahnya, dideskripsikan dengan “dari mustahiq menjadi muzakki”. Sehingga para penerima manfaat tidak selamanya menjadi penerima zakat atau dana lainnya semata, tetapi dengan pendampingan dan juga pembinaan. Dengan perlahan, mereka akan menuju posisi tangan di atas. Berbekal pendidikan formal, dan pelatihan untuk peningkatan kemampuan berusaha hingga mereka bisa berdaya untuk menafkahi dirinya dan keluarga.

Kita juga menyaksikan Yayasan Kalla sebagai salah satu amil nasional. Dengan program yang khas, membantu pengurus masjid memperbaiki sound system masjid. Termasuk memberi bantuan bagi anak-anak miskin untuk mendapatkan pendidikan di perguruan tinggi ternama dengan kriteria akreditasi unggul.

Adapun Baitul Mal Hidayatullah, dan Dewan Dakwah Islam Indonesia mengirimkan dai ke pelosok dan daerah terluar, seperti di Raja Ampat, Kaimana, dan Wondama di pulau Papua. Mereka diberikan insentif khusus selama penugasan yang durasinya paling tidak selama dua tahun di wilayah dakwah.

Ketika bencana melanda, seperti tsunami dan gempa bumi di Mamuju (Sulawesi Barat). DD mengirimkan bantuan berupa dapur mobil. Mereka memasak dan memberi bantuan makanan yang langsung dimasak di tempat pasca bencana. Bukan saja dengan pakaian bekas. Namun melainkan dengan menyediakan makanan.

Aktivitas pengumpulan yang juga variatif. Pembayaran zakat dengan metode-metode pembayaran terkini, diantaranya transfer, layanan penjemputan ziswaf, dan juga promosi melalui kanal termasuk media sosial. Sementara penyaluran dan penggunaan zakat dilaksanakan dengan penguatan dan juga aktivitas yang produktif.

Dalam satu program Baznas Maros membeli mobil bagi keperluan medis dengan sistem patungan. Setiap orang boleh menyumbang dengan nilai terkecil. Hanya saja, dalam kampanye ini kemudian disasarkan pada jumlahnya penyumbang ribuan orang. Sehingga membeli ambulance dapat dengan infaq Rp. 1.000, sekalipun. Metode dan cara-cara inovatif seperti ini, menjadikan zakat tidak lagi dikelola apa adanya. Tetapi justru dengan ada apanya itulah yang kemudian dapat bergerak, dan juga berdampak.

Semangat pengelolaan zakat tetap berpijak pada pengentasan kemiskinan (Andriyanto, 2011). Hanya saja dalam mengelola aktivitas itu tidak terbatas pada cash and carry saja. Ini juga sebagai instrumen kesejahteraan (Fitri, 2017). Maka dalam pengelolaan selain soal sinergi Hudaifah, A., Tutuko, B., Ishaq, A. A., & Albar, M. (2020), juga akuntabilitas (Endahwati, 2014). Sehingga ziswaf selain memberdayakan, juga tetap berdaya untuk dirinya sendiri.

*Ismail Suardi Wekke, Wakil Ketua Umum MPP Pemuda ICMI.

Tinggalkan Komentar