Menanti Malam Nuzul Quran

Selayar, PANRITA.News – Selepas dua pekan berpuasa, sekalipun hitungan malam-malam Ramadan di tahun ini bisajadi berbeda antar muslim. Kita segera memasuki masa untuk menyambut malam ketujuh belas.

Malam yang dirayakan dengan Nuzul Quran. Ketika itu, lebih dari seribu tahun lalu, Alquran mulai diturunkan, dan menjadi permulaan kerasulan bagida Nabi Muhammad SAW. Tidak saja menandai perjalanan duapertiga Ramadan, tetapi juga kita menuju ke penghujung Ramadan.

Perayaan Nuzul Quran ini, dimaknai berbeda sebagai sebuah bagian dari Ramadan di tiap masyarakat. Lagi-lagi kenangan masa kecil yang terlintas. Di kampung Tangkuli (Maros, Sulawesi Selatan), malam itu dirayakan dengan mengundang khusus penceramah. Dalam satu kesempatan, bukan hanya seorang. Tetapi beberapa orang.

Ceramah Ramadanpun diawali dengan tilawah dengan ayat yang dibaca lebih panjang dari sejak permulaan Ramadan.
Kampung kami itu sejak dulu (sekarang tidak lagi) merupakan rumah qariah.

Bahkan pernah menjuarai MTQ tingkat Provinsi Sulawesi Selatan. Dari hadiahnyalah yang dibawa pulang kami bisa mengenal teknologi yang bernama televisi. Dengan generasi TV yang masih hitam putih, kami bisa mulai menonton televisi yang ketika itu masih hanya siaran TVRI saja. Sebelum era parabola dengan hadirnya RCTI.

Penampilan qariah dan juga beberapa generasi setelahnya senantiasa ditunggu. Termasuk, warga bergotong royong membawa kue dan hidangan lainnya untuk dinikmati bersama saat acara berlangsung. Malam Nuzulul Quran dengan ceramah dan rangkaian yang berlangsung lebih lama berbanding dengan malam Ramadan lainnya. Sangat sederhana, cukup diawali dengan pengumuman protokol pada masa sebelumnya bahwa kita akan merayakan Nuzul Quran. Wargapun mafhum, dengan mulai menyiapkan kue. Pada malam itu, tidak hanya untuk kepelruan berbuka puasa saja, tetapi untuk keperluan malam yang spesial.

Dalam skala kabupaten, di Maros, pelaksanaan Nuzul Quran ditempatkan di masjid Al Markaz. Suasananyapun seperti perhelatan seremonial kabupaten. Dilaksanakan dengan pidato Bupati dan ketika itu menghadirkan AGH. Prof. Dr. Faried Wajedy (Pimpinan Pondok Pesantren Mangkoso).

Selain dengan tilawah, datangnya malam yang dirayakan dengan Nuzulul Quran ini ditandai pula dengan qunut saat witir dalam rangkaian tarawih. Qunut tetap dilaksanakan sampai akhir Ramadan.

Dalam skala nasional, dilaksanakan pula acara kenegaraan. Beberapa kesempatan terlihat dihelat di istana negara. Masa Presiden RI dijabat Soeharto, kita akrab dengan pelaksanaan kegiatan ini di Istiqlal. Sekali lagi, masa-masa TVRI dimana kita tidak bisa memilih channel televisi. Apa yang tersiar, diterima apa adanya.

Justru dengan beragamnya siaran dan beberapa pilihan yang ada kemudian menjadikan TVRI memiliki kesempatan melaksanakan MTQ secara berjenjang. Perwakilan TVRI di seluruh Indonesia mengadakan seleksi sesuai di tingkatan masing-masing. Wakil dari wiaah itulah yang kemudian bertanding di tingkat nasional. Pada acara tertentu di Istiqlal, qari pemenang dari MTQ TVRI, akan membaca tilawah. Salah satunya, Muiz Muin. Qari dari Sulawesi Selatan yang pernah juara nasional dan tampil di Istiqlal.

Ramadan, Alquran, dan peringatan Nuzul Quran kadang menjadi sepaket. Kata Quran sendiri diwakili dengan perhelatan MTQ. Itu menjadi tontonan dan sekaligus hiburan tersendiri bagi masyarakat Camba di lapangan Andi Baso. Namun dengan birokrasi pemerintahan masa kini yang semakin kompleks, MTQ yang dalam Q diwakili Quran telah menjadi industri tersendiri. Ibaratnya seperti klub sepakbola, pemain bisa didatangkan atau bahkan “disewa” dari wilayah lain.
Kerumitan itu, kemudian menjelma tidak lagi sekadar sebagai pembinaan bakat dan juga menyemai kemahiran membaca Alquran. Atau bahkan bisajadi membias menjadi urusan politik. Ketika MTQ bukan ditujukan untuk menyemai pada kecintaan membaca Alquran. Tetapi sebagai aktivitas pemerintahan. Sehingga berpotensi menjadi sebuah “festival” yang justru jauh dari masyarakat.

Sekalipun peringatan malam Nuzul Quran terlihat sangat sederhana, tetapi ini bisa menjadi instrumen pendidikan nilai bagi masyarakat muslim (Awaluddin, Abubakar & Haddade, 2021). Ini menjadi diantara salah satu dari tujuh perayaan tersendiri (Sholikhin, 2012). Sebagai peluang untuk belajar dan menanamkan tradisi keislaman (Saputra & Muhajir, 2019). Maka, Nuzul Quran tetap saja menjadi bagian “ritual” yang menyertai Ramadan.

*Ismail Suardi Wekke, Wakil Ketua Umum MPP Pemuda ICMI.

Tinggalkan Komentar