Makassar, PANRITA.News – Ramadan kali ini menjadi “semarak”, tidak saja tentang syiar. Juga dengan kehadiran media sosial membawa suasana tersendiri. Tidak lagi dengan menonton TV, masa-masa ngabuburit membawa kita menikmati Youtube, Instagram, dan bahkan WhatsApp yang menjelma menjadi media. Bahkan dengan algoritma platform tersebut, secara khusus menyuplai materi yang sesuai dengan minat penggunanya. Tidak sama dengan pengguna lain, sekalipun itu duduk di tempat yang sama, dan waktu yang sama pula.
Melalui media sosial juga, sepanjang Ramadan kita ditemani pernak-pernik yang dihasilkannya. Video singkat dengan pelbagi istilah. Ada yang menyebutnya short, ada pula dengan sebutan reel. Sementara TikTok menjenamai dengan FYP. Setiap perangkat memberinya nama masing-masing. Apapun istilah itu, kadang bahkan tidak dikenali istilahnya tetapi digunakan secara praktis.
Begitu pula dengan poster atau flyer yang disebut dengan spesifik meme. Belum lagi video yang membuat gigi harus tampak dengan senyum lebar. Dimana adanya profesi yang dikonstruksi oleh perangkat IT, dengan nama content creator. Merekalah yang mendedikasikan waktunya untuk membuat materi dengan pilihan masing-masing.
Ada diantara mereka yang khusus membuat materi dengan lakon kepala desa. Ada pula yang menunjukkan dengan tajuk tetangga julid. Bukan saja artis nasional, bahkan yang bukan artis sama sekali. Juga memiliki akun ataupun chanel tersendiri. Sehingga mereka memiliki panggungnya sendiri dengan penggemarnya yang juga bisa diakumulasi melalui artikulasi materi yang mereka hasilkan. Di masa lalu ketika era televisi atau radio, ini tidak mungkin bisa diwujudkan oleh semua orang. Paling banter, hanya jaringan lokal yang disebut radio antar penduduk.
Di Bulukumba, ada channel yang diberi nama Engkasi. Bukan memamerkan kemewahan. Hanya dengan suasana kampung di kabupaten wilayah selatan Provinsi Sulawesi Selatan. Bahkan diantara content creator atau selebgram itu ada yang sudah masuk layar lebar. Seperti Tumming Abu (pasangan dengan masing-masing nama, Tumming dan Abu). Setidaknya dalam rentang 2016-2019, Tumming Abu telah membitangi sebanyak empat layar lebar.
Kata seorang dai, dalam Pengajian Ramadan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bahwa cukup dengan gawai dan microphone. Keduanya sudah cukup untuk membuat video dan dalam hitungan detik bisa dinikmati siapa saja. Kemudian ketika ini bisa menarik banyak kalangan, bisa mendapatkan status viral.
Secara khusus, ada meme yang selalu membuat gusi kering dengan tertawa. Boleh juga cukup dengan senyum simpul saja. Mereka yang membuat, ataupun yang menyebarkannya semoga mendapatkan pahala yang berlipat sebagaimana semangat dalam bulan suci Ramadan.
Meme itu bermacam materi dan selalu menautkan dengan situasi terkini. Seperti dalam menyambut Ramadan, gambar yang bertuliskan hilal. Dalam sebaran yang lain, ada papan nama orang yang bernama Hilal. Ditambahkan dengan keterangan yang disebut caption. Tambahan keterangan itu pula yang sama menariknya. Diantaranya, “dicari”, “telah ditemukan”, “telah hadir”. Dengan caption itu menjadi amunisi untuk menjaga kegembiraan dan tawa.
Tidak saja menjadi ruang kreasi, ibadah, dan sederet tindakan positif lainnya.
Tetapi media sosial menjadi peluang untuk apapun bagi penggunanya. Dalam bulan Ramadan ini, laman web Kita Bisa menggruduk seorang penggunanya. Dana yang dikumpulkan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Begitu pula menggunakan platform X, Facebook, dan juga Instagram untuk memohon donasi. Itu berlangsung sejak 2021 dengan tema yang sama “ibu yang sakit”.
Konten creator, dan juga pengelola channel YouTube yang menyalahgunakan media mereka. Alih-alih menyebarkan informasi ataupun menghibur pengikutnya. Justru mereka asyik menyebarkan materi yang berbau sara, atau juga hoax. Sehingga diterungku dan menjadi pesakitan di penjara.
Tantangannya, di masa berpuasa, bukan lagi menahan lapar dan haus. Tetapi juga terkait dengan menghindar dari konten yang unfaedah. Sebenarnya, ini telah diulas Hjarvard (2011) bahwa selalu saja ada perubahan dengan wujudnya media. Dalam kesempatan berikutnya Hjarvard (2016) menjelaskan bahwa ada perubahan otoritas keagamaan dengan media itu. Hoover (2002) dan Coman & Coman (2017) bersama-sama menggambarkan bahwa beragama tidak lagi berada di ruang-ruang yang hening.
Kini, beragama berada di ruang popular.
Ada perbedaan dengan abad sebelumnya. Dunia yang sama sekali berbeda ketika datangnya IT, internet, dan media sosial. Kegembiraan , dan kesediahan; ibadah dan ketidaktaatan pada aturan agama, berada di gawai yang sama. Tinggal bagaimana penggunanya yang memilih sisi yang hendak dimainkan.
*Ismail Suardi Wekke, Wakil Ketua Umum MPP Pemuda ICMI.
Tinggalkan Komentar