Makassar, PANRITA.News – Literasi Ramadan dimaknai sebagai aktivitas berliterasi dalam kehidupan selama Ramadan. Ini tidak menjadi kategori tersendiri dalam kaitan dengan literasi. Ini tidak termasuk dalam enam literasi dasar yang perlu dikuasai. Dengan disandingkan kata literasi dan Ramadan, dimaknai bagaimana kemahiran berliterasi juga diaplikasikan selama bulan suci Ramadan.
Pertama, sepanjang bulan Ramadan menjadi kesempatan bagi setiap muslim untuk berpuasa. Dimana dalam kaitan dengan puasa, maka ini merupakan ibadah mahdah. Sehingga mana yang menjadi ibadah, mana pula yang menjadi budaya semata.
Menahan lapar dan haus, serta larangan ketika berpuasa lainnya, perlu dipahami sejak awal. Begitu pula dengan tindakan yang dapat membatalkan puasa. Baik dalam kaitan dengan puasa, dan begitu pula dengan pahalanya. Adapun makanan yang dihidangkan atau dipilih untuk berbuka dan sahur semata-mata aspek budaya saja. Tergantung pada pilihan masing-masing.
Selanjutnya, Ramadan menjadi bulan turunnya Alquran. Tadarus dan mengkaji Alquran merupakan keutamaan tersendiri. Tanpa melupakan bagaimana pengkajian Hadis. Ini memiliki tantangan tersendiri, jangan sampai mempertukarkan antara ayat dan hadis.
Sementara itu, jangan pula hanya perkataan dalam bahasa Arab, kemudian dinyatakan sebagai sebuah hadis.
Ancamannya jelas, bahwa ketika seseorang melekatkan apapun kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Tetapi itu bukan darinya, maka tempatnya sudah jelas di neraka. Bukan lagi berdosa saja, tetapi sudah dikabarkan bahwa akan berada di neraka. Terdapat potensi menyebarnya kata-kata Arab tetapi distatuskan sebagai hadis semasa cerama-ceraman Ramadan berlangsung.
Sepanjang Ramadan pula, terdapat pilihan untuk salat berjamaah. Diantaranya ada tarawih, dan ada pula qiyamulail. Hadis menyebutnya dengan kata “man qaama” dalam hadis diriwayatkan Buhari dan juga Muslim. Kata qaama di sini dapat diartikan bahwa menghidupkan suasana Ramadan dengan ibadah. Diantara ibadah yang menjadi sunnah, adalah tarawih. Salat sunnat berjamaah yang ditunaikan hanya ketika Ramadan.
Bagi masyarakat yang mendiami wilayah Darul Istiqamah (Maros) dilaknakan salat lail pada pukul 02.00 dinihari. Usai salat isya, maka jamaah bubar dan kembali ke rumah masing-masing. Mereka akan datang kembali untuk salat lail pada tengah malam, dan sepanjang salat menyelesaikan satu juz selama satu malam untuk 8 rakaat salat lain. Diakhiri dengan 3 rakaat witir.
Khusus untuk 10 malam terakhir, diteruskan dengan makan sahur bersama. Sebelum makan, jamaah akan iktikaf masing-masing. Tata cara ini dipraktikkan dari masa ke masa, sejak pendirian pesantren tahun 1970. Mereka memilih untuk mendirikan salat lain berbanding dengan salat tarawih yang dilaksanakan usai isya.
Terakhir, masa-masa berbuka puasa. Ini adalah momen dimana kegembiraan bagi orang yang berpuasa. Mengakhiri hari yang melelahkan dengan menikmati hidangan makan dan minum. Hanya saja, jangan sampai menjadi mubazir. Saat menyiapkan makan dan minum, atau saat ini disebut takjil war, maka keinginan untuk membeli kue ataupun makanan yang terlihat menarik. Namun, semuanya tidak akan mampu dihabiskan dalam satu kali duduk untuk berbuka. Akibatnya ini, akan menjadi perilaku yang dapat menjerumuskan kepada saudaranya setan.
Padahal larangan untuk mubazir dikemukakan secara khusus dalam Alquran. Ini menjadi peringatan bahwa dalam berbuka puasa sebagai bagian dari aktivitas ibadah puasa, tetap saja tidak ruang untuk mubazir. Sehingga menjalankan satu ibadah, tidak menjadi gugurnya larangan yang lain pula.
Dalam kaitan inilah diperlukan tindakan yang disebut “literasi”. Dimana membedakan antara ayat dan hadis. Selanjutnya, menghidupkan malam-malam Ramadan dengan salat sunnat berjamaah, serta menghindari mubazir ketika berbuka puasa.
Sejak awal ditegaskan bahwa sangkutan Ramadan dengan literasi tidak memiliki penggolongan tertentu, tetapi tetap saja kemampuan membaca (Ramadhan, Indriyani, & Sukma, 2022), kemampuan sains (Ramadhan & Mardin, 2023), konstruksi kepercayaan (Sukenti, Ramadhan, Mukhaiyar, & Tambak, 2022) menjadi bagian dalam prosesi selama Ramadan. Sehingga kemahiran dalam literasi lainnya tetap diperlukan untuk didayagunakan sepanjang Ramadan sehingga terbebas dari api neraka.
Alih-alih berharap ampunan, jsutru menumpuk dosa dan kesalahan. Jangan sampai justru yang wujud adalah pseudo literasi (Kusuma, 2023).
*Ismail Suardi Wekke, Wakil Ketua Umum MPP Pemuda ICMI
Tinggalkan Komentar