Makassar, PANRITA.News – Alatas (2024) menggambarkan bahwa dalam satu kesempatan Habib Lutfi menyampaikan pandangan (boleh jadi pesan kepada jamaah) soal kurma dan kelapa. Dalam pesan tersebut bahwa tidak saja soal kurma, tetapi hidup di alam nusantara memerlukan pemahaman juga soal kelapa.
Dalam kesempatan lain, Pengajian Ramadan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, awal Ramadan 1445 H/2024 M mendiskusikan terkait dengan pilihan-pilihan sunnah bagi masyarakat muslim Indonesia. Masih dalam pengajian yang sama, narasumber kemudian bertanya “berbuka puasanya memilih kurma atau kolak pisang?” hadirin tidak menjawab dan sebagian besar meresponnya dengan tertawa bersama. Adapun panitia pengajian menyajikan keduanya. Di samping kurma, juga tersedia semangkuk kolak pisang.
Keduanya (kurma dan kolak) ketika berbuka puasa bukanlah soal pertentangan. Sebaliknya merupakan produk alam dari topografi yang berbeda. Namun demikian, justru menjadi kesempatan bagi penduduk lintas wilayah masing-masing untuk memilih. Baik kelapa yang populer di daratan Arab, sementara kurma juga sama populernya di kepulauan nusantara. Saat berbuka, adalah saat yang dinanti-nantikan bagi seseorang yang berbuka puasa. Sehingga kegembiraan mereka, diisi dengan pilihan tersendiri untuk merayakannnya. Baik dengan kurma ataupun kolak. Keduanya tetap dapat menjadi pilihan utama.
Sementara dalam kaitan dengan sunnah, tidak sesempit itu terkait dengan jenis makanan saja. Jikalau melihat sebuah hadis, maka tidak dapat dilepaskan dari konteks masing-masing. Namun demikian tidak juga sampai pada Inkar Sunnah yang justru sebuah tindakan yang bermasalah. Nugroho (2022) menggambarkan bahwa ada kalangan tertentu yang menolak apapun itu dari hadis, kecuali jika terdapat nash hal yang sama dalam Alquran. Ini juga tidak dapat diterima, dimana justru hadislah yang memiliki kekuatan untuk menjelaskan sebuah nash yang masih global dalam teks Alquran.
Armayanti & Zulhidah (2024) menginformasikan bahwa fenomena Inkar Sunnah ini tersebar di dunia Islam. Mereka skeptis terhadap orisinalitas hadis (Soleh, 2023). Namun, ini merupakan golongan yang minoritas saja. Sekalipun wujud, tetap saja tidak menjadi arus utama masyarakat muslim.
Konsep sunnah, mengalami evolusi dan juga rekontekstualisasi dari waktu ke waktu. Bahkan dalam zaman sahabat sendiri sebagai khaer al-ummah (umat terbaik). Seperti tarawih yang kemudian oleh Umar bin Khattab dilaksanakan berjamaah dalam satu masjid. Sementara di Indonesia sendiri bahkan kewajiban zakat, tidak ditunaikan dengan kurma melainkan dengan beras. Sehingga memahami konsep sunnah tidak akan seragam dalam mengartikan suatu kondisi.
Secara terbatas, sunnah dapat diartikan sebagai “amalan”. Sebagaimana dalam penyusunan kitab fikih Imam Malik bahwa berpatokan pada sunnah penduduk Madinah. Sehingga sunnah disitu dapat dipertukarkan walau tidak sama persis antara sunnah dan amalan. Namun, sunnah dalam amalan ini memungkinkan untuk mengalami perubahan cara.
Sebagaimana imam Syafii, mengemukakan dua pendapat yang berbeda berdasarkan konteks wilayah yang didiaminya. Dimana Syafii mengemukakan qaulul qadim (pendapat lama) yang tertuang dalam kitab Al-Hujjah. Itu ditulis semasa bermukim di Baghdad. Sementara ketika berada di Mesir, menuliskan kitab yang dikategorikan dengan qaulul jadid (pemahaman baru).
Jika sunnah dalam arti yang terbatas tadi adalah amalan, maka sunnah baginda Nabi Muhammad SAW sejatinya tidak dapat diikuti secara mutlak. Dimana ada saja yang diamalkan Nabi, tetapi itu merupakan kekhasannya sebagai Nabi dan Rasul. Seperti amalan poligami yang melebihi empat orang. Maka, umatnya tidak perlu dan bahkan haram mengikuti ini.
Sementara dalam konteks tertentu, amalan Nabi justru menjadi perintah dan bahkan untuk ibadah menjadi wajib. Ini merupakan ittiba’ (ikutan) terhadap apa yang dilaksanakan (diamalkan) Nabi. Sebagaimana dalam pelaksanaan ibadah umrah dan haji. Maka, tidak diperlukan penjelasan detail, sebab dasarnya adalah semata-mata pada ittiba’. Seperti dalam menggunakan pakai ihram yang menutup bahu sebelah kiri. Sementara bahu sebelah kanan tetap terbuka. Saat saya bertanya ke muthawif (pemandu thawaf) “apa penjelasan soal kiri dan kanan?”. Jawab sang muthawif “ini semata-mata ittiba’ kepada Rasulullah SAW”.
Satu hal lagi bahwa apa yang dinarasikan para sahabat berbentuk hadis tidak terlepas dari profesi mereka masing-masing (Zain, 2007). Sehingga ketika mengemukakan apa yang dilihatnya dari praktik semasa Nabi Muhammad SAW hidup tidak terlepas dari apa yang ditekuninya. Sehingga Alatas (2024) menjelaskan kembali bahwa sunnah yang hidup di satu golongan atau satu tempat, boleh jadi akan berbeda dengan apa yang dipraktikkan golongan atau penduduk di lain tempat.
Akhirnya, ini dapat diartikan betapa sunnah begitu dinamis. Tidaklah semata-mata hanya dengan soal kurma atau kolak saja. Masing-masing memiliki kekhasan, manfaat, dan juga pilihan selera perorangan. Sehingga ketika semangatnya dalam memilih kurma sebagai ikutan nabi, maka semoga ini berbuah pahala. Sama halnya dengan hidangan ketika berbuka dengan kolak, tetap juga berbuah pahala dengan kondisi ini sebagai makan yang menjadi akhir dalam rangkaian puasa hari tersebut.
Tinggalkan Komentar