Ramadan Bulan Produktivitas, Kesempatan Belajar Hadis

pemkot-makassar

Makassar, PANRITA.News – Bolehjadi seorang muslim, terlambat untuk berjamaah tarawih. Hanya saja, saat berbuka puasa tetap mengikuti pada detik pertama adzan berkumandang atau masa beduk ditalu untuk menandai waktu berbuka puasa. Sang muslim senantiasa tepat waktu. Bahkan bersegera untuk berbuka, dan apa yang dinikmatinya kini disebut dengan nama takjil (makan minum berbuka).

Disiplin begitu terlihat di bulan suci Ramadan. Saat berbuka dan juga saat imsak. Sekaligus kebiasaan imsak ini, menjadi tradisi masyarakat muslim di Asia Tenggara. Adapun di wilayah lainnya, masyarat muslim tidak menggunakan penanda imsak kecuali tanda bahwa waktu shubuh telah masuk.

Adapun imsak, dijadikan kesempatan untuk menyiapkan diri memasuki waktu shubuh. Sehingga begitu waktu shalat tiba, dan sekaligus menandai saatnya berpuasa. Imsak ini dijadikan sebagai fase persiapan dan juga sebagai sikap berhati-hati. Padahal secara khusus, imsak tidaklah dijadikan sebagai “cara” beribadah Rasul dan juga para sahabat.

Sebagai bulan turunnya Alquran, maka yang utama dan pertama juga adalah kembali bertadarus, dan mentadaburi kitab suci. Di samping itu, perlu diteruskan dengan kegiatan membaca dan menelaah hadis. Sekaligus ini kesempatan untuk merespon merebaknya idiom dan pesan-pesan yang disematkan identitas hadis. Padahal hanyalah pesan yang berbahasa Arab. Sehingga tetap dapat mengidentifikasi mana yang menjadi panduan dalam pelaksanaan ibadah ataupun pesan-pesan kehidupan global.

Keresahan yang sama dicermati almarhum Ali Mustafa Yaqub (2003) yang di masa hidupnya pernah ditugaskan sebagai Imam Besar Masjid Itiqlal. Allahuyarham menulis buku dengan judul Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan. Buku yang menyenaraikan hadis-hadis yang hidup di masyarakat. Bahkan dijadikan sebagai pegangan dalam aktivitas sepanjang Ramadan. Hadis tersebut dituturkan dan dijadikan sebagai panduan menghidupkan masa Ramadan.

Ini bisa terjadi karena transmisi pesan dari mimbar ke mimbar. Tidak ditunjukkannnya referensi yang primer. Sebaliknya hanya menyampaikan secara lisan. Kemudian, informasi inilah yang menyebar dari tempat ke tempat. Dirujuk kembali saat Ramadan dan bahkan dijadikan sebagai landasan dalam beragama.

Padahal keberadaan hadis-hadis menjadi sebuah kajian yang komprehensif, kalau tidak dikatakan hampir sempurna. Kriteria dalam penentuan tingkatan hadis, termasuk identifikasi orang berada dalam rantai penyebaran hadis yang disebut rijal al-hadis. Diantara cabang keilmuan hadis, ada juga al-jarh wa ta’dil. Kajian yang khusus memberikan kritik kepada seseorang yang meriwayatkan hadis. Ini untuk menggambarkan betapa kelengkapan keilmuan hadis sangat lengkap.

Dengan mempelajari hadis, maka seorang muslim akan memiliki kesempatan melihat bagaimana sebuah praktik ibadah merupakan tuntutan Islam. Bukan hanya sebagai ikutan secara turun menurun dari praktik masyarakat.

Padahal, dalam kaitan dengan ibadah sandarannya hanya pada Alquran dan hadis. Ketika melaksanakan sesuatu memiliki dasar dan batasan, termasuk kepahaman terhadap apa yang dilaksanakannya.

Sebagaimana dalam praktik tarawih saat ini, apa yang dilaksanakan tidaklah seperti yang dilaksanakan Nabi Muhammad SAW. Bukan berarti salah, tetapi pilihan berjamaah dalam pelaksanaan tarawih terlebih kepada pilihan yang tetap didasari bahwa shalat sunnatpun dapat dilaksanakan secara berjamaah. Bahkan ada yang diperintahkan dengan cara berjamaah seperti idul fitri dan idul adha.

Masih terkait tarawih, secara khusus Al-Bani menulis buku berjudul Shalatu At-Tarawih. Diantaranya membahas bagaimana Umar bin Khattab meminta jamaah di masjid yang saat ini kita sebut dengan masjid Nabawi untuk berimam kepada satu orang saja. Dimana sebelum itu, para sahabat melaksanakan tarawih (yang dinamai sebagai salat lail) dilaksanakan dalam kelompok kecil.

Bahkan ada sahabat yang melaksanakannya dalam kumpulan kecil di rumah. Pelaksanaan tarawih merupakan bagian dari sunnah sahabat dijelaskan Jalaluddin Rakhmat (2015).

Dengan memahami ini, tentu akan dengan akan mudah mengidentifikasi pembedaan antara norma dan histori (Amin Abdullah, 1996). Olehnya, perjalanan Ramadan dapat dilalui dengan produktif sebagai sebuah peluang untuk belajar Alquran sekaligus hadis. Sehingga begitu Ramadan berakhir apa yang dijalankan sepanjang Ramadan tetap dihidupkan sampai pada bulan suci berikutnya.

*Ismail Suardi Wekke, Wakil Ketua Umum MPP Pemuda ICMI.

Comment