Makassar, PANRITA.News – Arti Ramadan secara sempit, adalah puasa. Namun justru, dalam praktiknya yang wujud adalah berkait dengan hidangan. Kita saksikan langsung bagaimana pasar yang tidak ada di bulan-bulan lain, justru wujud di Ramadan. Bahkan kita sebut dengan pasar tumpah. Ini bisa menjadi masalah tersendiri dalam perjalanan mudik.
Begitu pula dengan lauk-pauk, kue, dan penanganan lainnya. Secara khas, di Indonesia ada makanan yang muncul dalam momen tertentu. Sementara dalam Ramadan, justru semuanya bisa didapatkan. Kue yang khas dalam pernikahan-perkawinan, bahkan juga dengan mudah didapatkan dalam Ramadan.
Dalam kaitan dengan makan ini, menjadi bentuk kesyukuran tersendiri. Masyarakat Bugis & Makassar, membaca doa tolak bala dijadikan sebagai tahapan untuk mengundang keluarga dan tetangga untuk makan bersama. Hidangan utamanya ayam kari, maupun nasu likku (ayam dengan lengkuas). Keseharian makanan keluarga dengan menghidangkan ikan. Sehingga dalam perayaan tertentu ayam atau daging sapi yang dijadikan sebagai menu.
Begitu pula, mengirim hantaran makanan di hari terakhir sya’ban, menjadi awal dalam menyambut bulan suci Ramadan. Selain baca doa keselamatan tadi, keluarga saling mengirim makanan. Satu keluarga semuanya terlibat, dimana orang tua yang memasak. Sementara anak-anak yang ditugaskan untuk menyampaikan kiriman itu ke tetangga, dan keluarga.
Bagi masyarakat Aceh, makan daging secara khusus dilaksanakan bersama. Bahkan memacu naiknya harga daging. Baik dalam skala terbatas, maupun dilaksanakan secara luas, makan bersama dengan bahan daging. Kesemarakan makan daging ini, hampir sama dengan aktivitas menyembelih daging kurban semasa idul adha.
Masih dengan semangat yang sama, di Cianjur disebut dengan papajar. Makan bersama nasi liwet sembari berwisata bersama keluarga dan warga sekampung. Sementara di Jawa Timur dilaksanakan megengan. Kata ini sejalan dengan kata puasa, dimana berarti menahan keinginan untuk makan dan minum. Pelaksanaan megengan diselenggarakan bersama di masjid dengan kue utama adalah apem. Masing-masing keluarga membawa kue diantaranya adalah apem untuk disajikan bersama di masjid-masjid.
Adapun di Sumatera Barat, wilayah Minangkau pilihannya adalah lemang. Mulai dari Pasisir Selatan, Padang, sampai ke daerah Pariaman. Ini merupakan sejatinya kesyukuran yang diekspresikan dalam bentuk gotong royong memasak bersama lemang (beras ketan). Termasuk diawali dengan mencari bersama peralatan dan keperluan memasak, dan diakhiri dengan makan bersama.
Praktik yang sama dengan metode yang berbeda dilakukan di daerah-daerah minoritas muslim seperti di Papua, Bali, dan Sulawesi Utara. Tetangga Protestan atau Katolik mengirimkan buah kepada tetangga. Ini untuk menghindari kekhawatiran makanan yang sudah bercampur dengan unsur makanan yang mengandung babi. Kesefahaman dan kesalingpengertian telah wujud dan justru menjadi bagian dalam penyambutan Ramadan.
Selain cara Cinajur, yang tadi disebut papajar, wilayah Jawa Barat lainya menyebutnya dengan munggahan. Semangat dan spiritnya kurang leibh sama, kesyukuran datangnya Ramadan dilalui dengan makan bersama.
Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, jalangkote (disebut pastel di tempat lain) menjadi hidangan utama yang dicari saat berbuka puasa. Begitu pula dengan pisang ijo, pallu butung. Bersama-sama dengan jalangkote tadi, dijadikan sebagai kue yang dicari ketika berbuka puasa. Bahkan dijadikan sebagai meme dengan sebutan tiga peringkat teratas Liga Hidangan Berbuka Puasa.
Kesemua aktivitas makan ketika bertemu menjadi wujud tanda kesyukuran atas datangnya bulan suci. Makanan hanyalah media, tetapi kebahagiaan terbesar adalah kesempatan mendapatkan kembali peluang untuk bertemu dengan Ramadan. Rasa syukur ditandai dengan berkumpul dan bersua. Hanya saja ketika silaturahmi dilaksanakan, tidak cukup jikalau tidak dengan menyediakan makanan.
*Ismail Suardi Wekke, Wakil Ketua Umum MPP Pemuda ICMI.
Tinggalkan Komentar