Makassar, PANRITA.News – Sepanjang Ramadan, salah satu yang mengiringinya adalah tarawih. Sekalipun ini sunnah berbanding dengan puasa yang wajib. Secara khusus, dalam bulan Ramadan disebut tarawih. Salah satu yang dinanti selain berbuka puasa, juga tarawih yang menjadi kesemarakan dalam bulan Ramadan. Salat ini jugalah sejak awal yang disukai sahabat rasulullah. Sementara selain Ramadan, disebut dengan salat lail.
Pada masa rasululullah bersama sahabat, salat ini dilaksanakan hanya dalam dua malam berturut-turut. Sekalipun pada malam ketiga Rasulullah tidak lagi keluar salat sunnah berjamaah, tetapi para sahabat tetap saja meneruskan salat ini.
Bahkan di zaman khalifah Umar bin Khattab kemudian dijadikan satu jamaah. Sebelum itu, sahabat melaksanakannya di rumah ataupun di masjid dengan kelompok kecil. Sehingga oleh Jalaluddin Rakhmat (2015), ini disebut sebagai sunnah sahabat.
Terkait dengan tarawih, salah satu “perdebatan” antar organisasi keagamaan Islam di Indonesia soal jumlah rakaat dalam tarawih. Praktik di Yogya, dilaksanakan dengan empat rakaat. Kemudian diakhiri dengan witir sebanyak tiga rakaat. Sementara masyarakat muslim di Tebu Ireng (Jombang) melaksanakannya dengan dua rakaat sampai berjumlah 20. Ditambah dengan witir yang juga tiga rakaat.
Sementara itu di Maccopa (Maros, Sulawesi Selatan), tidak dilaksanakan usai isya. Tetapi justru dilaksanakan dinihari yang disebut dengan salat lail. Adapun sepuluh malam terakhir, tetap dilaksanakan dan diakhiri dengan sahur bersama. Tarawih dilaksanakan dalam bentuk salat lail. Setiap malam, dirampungkan bacaan satu juz sepanjang pelaksanaan delapan rakaar salat malam.
Kemudian ini disebut sebagai perbedaan antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Bahwa keduanya berbeda dalam praktik salat tarawih. Sehingga dalam satu kesempatan, saya bertanya “jika warga Muhammadiyah umrah pada bulan Ramadan, bagaimana dengan rakaat tarawih yang diikutinya?”. Jawabnya “mengikuti imam”.
Maka kondisi kontemporer, soal rakaat ini tidak lagi menjadi perdebatan. Ali Mustafa Yaqub (2007) menengahi perbedaan pegangan hadis soal rakaat tarawih. Yaqub menengahi bahwa tarawih dalam jumlah yang genap, seberapapun rakaatnya tetap disebut sebagai tarawih. Sepanjang dilaksanakan dalam Ramadan, maka namanya tarawih. Maka dalam praktik tarawih di masjid yang diasuh allahuyarham Ali Mustafa Yaqub, dilaksanakan dengan 10 rakaat.
Moller (2005) berturut-turut mengkaji tarawih (2006) dalam dua terbitan meneruskan kajian disertasinya yang secara khusus melihat Ramadan di Jawa (2005). Ketiga terbitan tesebut bersama-sama mengemukakan bahwa Ramadan dan tentu saja tarawih tidak dapat dilepaskan dari budaya.
Dapat dilihat bahwa tarawih yang panjang, dipilih oleh warga yang berprofesi sebagai petani. Mereka tidak terikat pada jam kerja. Sehingga memilih menghabiskan malam lebih panjang. Sementara yang memilih tarawih dengan rakaat pendek, mereka adalah pedagang. Supaya bisa beristirahat lebih awal. Sehingga pagi hari harus buka toko. Jikalau mereka terlambat membuka tokonya, tentu akan jadi masalah tersendiri.
Sehingga melihat sunnah perlu diteruskan dengan membacanya bersama-sama dengan konteks. Bahwa sunnah yang dipraktikkan para sahabat yang kemudian sampai pada kita saat ini, tidak bisa menafikan profesi para sahabat. Sehingga para sahabat meriwayatkan apa yang menjadi minat ataupun profesi (Zain, 2007).
Dari sini, perlu dilihat bagaimana sebuah sunnah yang diklasifikasi sebagai doktrin dan peradaban (Madjid, 1992). Jika Amin Abdullah (1996) menyebutnya normativitas dan historisitas. Redefinisi ini juga didorong oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Pengajian Ramadan 1445 H (Wekke, 2024) bahwa dalam sebuah praktik, perlu melihat mana yang ibadah. Pada sisi tertentu ada aspek kultural.
*Ismail Suardi Wekke, Wakil Ketua Umum MPP Pemuda ICMI.
Tinggalkan Komentar